Penderitaan Hidup Rabi’ah Al-Adawiyah Tokoh Sufi Abad 8

4/24/2017

“Jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, maka lemparkanlah aku ke dalam neraka. Jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkan aku dari sruga.” Inilah ungkapan cinta Rabi’ah al-Adawiyah sang perempuan sufi kepada sang Khalik lewat sebuah syair. Pepatah mengatakan, barangsiapa menyaksikan keikhlasan pada keikhlasan, maka keikhlasan itu masih membutuhkan keikhlasan lagi. Rabi’ah al-Adawiyah, tokoh Muslimah abad 8, agaknya sangat memahami makna pepatah tersebut.

Penderitaan Hidup Rabi’ah Al-Adawiyah

Rabi’ah lahir pada abad 8 di kota Basra, Irak. Ia memiliki tiga orang kakak yang semuanya perempuan. Ayahnya, Ismail, bukan orang yang berkecukupan. Saat Rabi’ah masih berada di dalam kandungan, Ismail begitu berharap anak tersebut kelak lahir laki-laki. Alasannya sederhana saja, laki-laki dianggap mampu membantu ekonomi keluarga dibanding perempuan.

Namun Allah berkehendak lain. Anak keempat Ismail ternyata perempuan. Laki-laki setengah baya itu sempat shok. Apalagi menurut budaya masyarakat pada masa itu, anak perempuan membawa sial. Tak heran bila banyak yang tega mengubur hidup-hidup bayi-bayi perempuan mereka.

Namun, Ismail tak menuruti budaya tersebut. Ia mampu menerima kehadiran bayi terakhirnya dengan lapang dada. Apalagi sang isteri sangat menyintai bayi tersebut.

Ismail dan keluarganya, meskipun hidup serba kekurangan, pantang meminta tolong kepada orang lain. Mereka amat istiqamah dan wara’. Ini yang membuat kemiskinan amat akrab dengan keluarga Ismail. Dan, dalam kesengsaraan itu pula Rabi’ah tumbuh.

Hebatnya, semakin besar derita yang dihadapinya, semakin menjadi-jadi keikhlasan dan keimanan Rabi’ah pada agama Tauhid. Tidak pernah ia meminta sesuatu kepada orang tuanya seperti seperti yang dilakukan anak-anak sebayanya pada masa itu. Ia juga tidak terbiasa mencerca orang lain dan selalu mampu menyembunyikan perasaan tidak senangnya.

Di samping itu, ia sangat terlatih menyerap ilmu-ilmu agama dan berhati-hati dalam melaksanakan syariat Islam. “Lebih baik menahan lapar di dunia dari pada menahan panas di Hari Pembalasan.” Kata Rabi’ah kecil saat ragu menyantap makanan yang disukainya.

Di usia remaja, Rabi’ah telah mampu menghafal al-Qur’an. Setiap malam, ia selalu meluangkan waktu membaca ayat-ayat suci al-Qur’an di depan ayahnya dengan riang gembira namun penuh khidmat. Suatu malam, saat Rabi’ah sedang membaca al-Qur’an, sang ayah yang setia menemaninya sudah merasa mengantuk. Lalu ia pergi meninggalkan putrinya untuk tidur. Ketika subuh sudah datang, betapa terkejutnya ia mendengar suara sang putri yang masih membaca al-Qur’an, duduk menghadap kiblat sambil mengenakan pakaian tebal untuk mengusir hawa dingin. Mukanya tampak begitu lelah, namun tetap semangat untuk menghabiskan bacaannya.

Derita yang dipikul Rabi’ah semakin menjadi-jadi ketika ayah yang dicintainya meninggal dunia. Begitu juga sang ibu yang menyusul tak lama kemudian.

Rabi’ah dan tiga saudaranya harus berjuang sendiri menanggung beban hidup. Apalagi kota Basra lama kelamaan sudah mulai tak aman. Suasana politik kacau balau, pemberontak bermunculan di sana sini, oportunis dan penjahat merajalela.

Tak cukup sampai di situ, selama satu tahun kota Basra dilanda kemarau yang mengerikan. Banyak rakyat yang kelaparan, termasuk Rabi’ah dan saudara-saudaranya. Mereka saling terpisah demi mempertahankan hidup, mencari sisa-sisa roti untuk mengganjal perut.

Suatu hari Rabi’ah ditangkap para pencari budak, lalu dijual kepada seorang saudagar kaya. Terenggutlah semua kebahagiaan Rabi’ah karena harus mengorbankan waktu dan raganya untuk sang majikan.

Hari demi hari dilewatinya dengan bekerja keras. Sementara sang majikan tak peduli dengan keletihan dan kelemahan seorang wanita. Namun, Rabi’ah menjalani semua itu dengan sabar karena kekuatan iman.

Sang majikan, pada suatu ketika menyuruh Rabi’ah belanja ke pasar. Dalam perjalanan pulang ia dihadang sekelompok penjahat. Karena rasa tanggung jawabnya yang tinggi, Rabi’ah tak ingin barang belanjaannya dirampas. Ia berjuang membebaskan diri dan berhasil lari. Namun, pergelangan tangannya patah.

Setibanya di rumah, dengan tangan yang terkulai lemah, Rabi’ah langsung memanjatkan doa, “Tuhanku, pergelangan tanganku patah, dan aku adalah budak yang sengsara dan menderita. Tapi aku bertahan di dalam ketidakadilan. Apakah Engkau tetap senang denganku? Kesenangan-Mu, oh Tuhanku, adalah harapanku dan itulah obat dari derita jiwaku.”

Sang majikan rupanya tak peduli dengan musibah yang menimpa Rabi’ah. Ia malah terus memaksa wanita itu bekerja. Hingga pada malam harinya, dengan tubuh yang sangat lelah dan pergelangan tangan yang dibalut dan diikatkan ke dada Rabi’ah melanjutkan doanya. Hatinya tersayat, lantaran menahan pedih atas ketidakpedulian sang majikan.

“Oh Tuhan. Engkau tahu kalau hatiku hanya ingin patuh kepada-Mu. Cahaya yang ada di mataku hanya kupersembahkan pada-Mu. Andai nasib mengizinkan, aku tidak akan berhenti memanggil nama-Mu, bahkan satu menit pun. Tapi, mengapa Engkau membiarkanku terus berada dalam kendali seorang hamba-Mu yang kejam.”

Rupanya, doa Rabi’ah terdengar sang majikan yang kebetulan berada didekatnya. Ratapan doa itu membuat hati sang majikan mendadak ketakutan. Setelah berpikir sejenak, ia menghampiri Rabi’ah yang masih khusuk berdoa. Betapa terkejutnya ia ketika melihat cahaya terang benderang memancar dari kepala Rabi’ah, menyinari sekelilingnya yang gelap gulita.

Karena rasa takut bercampur kasihan, sang majikan segera meminta maaf atas semua kesalahannya. Saat itu juga Rabi’ah dimerdekakan.

Setelah merdeka, dalam usia yang relatif muda, Rabi’ah bergabung dengan komunitas orang-orang asketis (sufi). Dia meninggalkan hal-hal duniawi, larut dalam kegiatan memuji Allah, hari demi hari. Kesungguhan dan kecerdasannya, mengantarkan Rabi’ah menjadi tokoh besar abad 8 di Basra, Irak.

Beberapa kali Rabi’ah mengunjungi Baitul Haram guna menyempurnakan ibadah haji. Perjalanan ke Makkah pada saat itu tentu tak mudah. Harus melewati gurun-gurun panas dan menempuh perjalanan berhari-hari. Tapi ia tak peduli, sama seperti ketidakpeduliannya pada penderitaan hidup. Yang penting baginya, bisa berdekatan dan selalu menyebut nama Sang Khalik.

Potret Kota Basra Masa Rabi’ah al-Adawiyah.

Pada abad 8, Basra mencapai puncak kejayaannya. Ketika itu, kota sebelah selatan Irak ini diduduki oleh bagsa Arab. Rupanya, kedatangan bangsa Arab membuka peluang Basra untuk maju. Sebab, pemerintahan Arab telah membuka pintu seluas-luasnya bagi ilmu pengetahuan, peradaban, dan kajian keagamaan.

Basra dibangun dengan indah, dilengkapi masjid-masjid dan lembaga-lembaga keagamaan. Masjid terbesar berfungsi seperti sebuah universitas, yang kecil menyerupai institute-institut pada abad 19. Metode pendidikan sudah modern. Ilmu pengetahuan yang dipelajari meliputi bahasa, sastra, hukum, sunnah, dan wacana ilmiah.

Penduduk kota Basra terbagi menjadi dua golongan, yaitu kaya dan miskin. Sementara dari asalnya, populasi Basra terdiri dari orang-orang Arab, Mawali (Muslim non-Arab), Mesir, dan Pesia.

Saat Basra dalam kemegahan inilah Rabi’ah hidup. Rumah keluarganya cuma sebuah gubuk kecil yang reot, berdiri di antara gedung-gedung megah. Komunitas di mana keluarga Rabi’ah tinggal adalah mereka yang hanya sanggup memenuhi kebutuhan hidup dalam hitungan hari, tanpa bisa menabung sedikitpun.

Kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin saat itu sangat jelas. Rabi’ah dan komunitasnya hidup dalam kemiskinan di tengah kemegahan kota.

Saat Rabi’ah kecil, Basra pernah mengalami kekacauan politik dan bencana kekeringan yang parah. Namun, lama kelamaan berhasil bangkit. Pada masa itu, hidup pula beberapa tokoh ulama terkenal seperti Hasan al-Basri, Malik bin Dinar, Fazi al-Raqashi, abdul Walid bin Zayd, dan Salih al-Mary.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top