Metode Dakwah Sunan Ampel Dalam Menyebarkan Agama Islam

5/01/2017

Pada pertengahan abad 15, di Ampel Denta, tepatnya di kota Wonokromo, yang dulunya berupa rawa-rawa pemberian Raja Majaoahit, berdiri sebuah pondok pesantren yang punya pengaruh luas di wilayah nusantara bahkan mancanegara.

Para santri yang pernah mengenyam pendidikan di sana antara lain; Sunan Giri, Sunan Kudus, dan Raden Patah (Raja Islam Demak I). Bahkan, anak-anak raja Islam dari kawasan Timur, termasuk Pattani (Thailand) dan Campa (Kamboja), juga belajar di sana.

Setelah selesai menuntut ilmu para santri disebar ke pelosok Jawa dan Madura untuk berdakwah. Sementara santri dari luar negeri dikembalikan ke negeri asalnya masing-masing.

Metode Dakwah Sunan Ampel Dalam Menyebarkan Agama Islam

Siapa sang empunya gagasan mendirikan pesantren ini? Dia adalah Sunan Ampel yang bernama asli Raden Rahmat, putera tertua Maulana Malik Ibrahim.

Menurut Babat Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, Sunan Ampel lahir pada tahun 1401 Masehi di Campa. Nama Ampel sendiri diidentikan dengan nama tempat di mana beliau bermukim.

Versi lain menyebutkan bahwa Sunan Ampel masuk ke Pulau Jawa pada tahun 1443 Masehi bersama sang adik, Sayid Ali Murtadlo. Tahun 1440 Masehi, mereka singgah dulu ke Palembang sebelum akhirnya ke Pulau Jawa. Setelah 3 tahun di Palembang, ia berlabuh ke daerah Gresik, di lanjutkan ke Majapahit untuk menemui bibinya yang bernama Dwarawati, seorang putri dari Campa yang menikah dengan salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban bernama Nyai Ageng Manila. Dari perkawinannya ini lahirlah beberapa putra dan putri, di antaranya Sunan Drajat dan Sunan Bonang.

Sunan Ampel adalah perencara kerajaan Islam pertama di Jawa yang beribu kota di Bintoro Demak. Raja pertamanya adalah Raden Patah dengan gelar Sultan Alam Akbar Al Fatah. Kerajaan ini berkedudukan di Desa Glagah Wangi yang kemudian bertukar nama menjadi Bintoro Demak, kota Demak sendiri terletak di sebelah selatan kota Kudus.

Sunan Ampel juga mendirikan Masjid Agung Demak yang dibangun pada tahun Saka 1401 atau bertepatan dengan tahun 1479 Masehi. Ada yang berpendapat bahwa berdirinya Masjid Demak berdasarkan candrasengkala yang berbunyi: Kori Trus Gunaning Janmi (tahun saka 1399) atau bertepatan dengan 1477 Masehi. Sedangkan berdirinya kerajaan Bintoro Demak bersengkala Geni Mati Siniram Janmi,, yang artinya “api mati disiram orang.”

Pada masa itu, orang Jawa masih banyak yang menganut kepercayaan animisme, percaya pada kekuatan gaib. Sehingga segala budaya dan adat yang berkembang di tengah masyarakat selalu dikaitkan dengan roh halus dan gaib. Hal itu jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Inilah yang hendak diluruskan oleh para wali.

Bagaimana metode dakwah Sunan Ampel? Strategi awalnya adalah melakukan pembauran dengan masyarakat akar rumput yang merupakan titik sentral sasaran dakwahnya. Saat itulah kecendekiaan dan intelektualitasnya benar-benar teruji. Tentu bukan hal mudah bagi seorang pendatang yang harus beradaptasi dengan kultur-sosial di tempat yang sangat asing, jumud, dan kolot dan tak dikenal sebelumnya.

Namun dengan diplomasinya yang gemilang, Sunan Ampel berhasil mensejajarkan kaum Muslimin dengan kalangan “elite” dalam kasta-kasta masyarakat dan pemerintahan Majapahit. Pemerintahan Majapahit pun sangat menghormati dan menghargai hak-hak dan kewajiban orang Islam, bahkan tidak sedikit dari punggawa kerajaan yang akhirnya memeluk agama Islam.

Jika metodologi dakwah Sunan Ampel dengan masyarakat akar rumput dilakukan dengan cara pembauran dan pendekatan, maka strategi menghadapi para cerdik-cendekia lain lagi. Sunan Ampel melakukan pendekatan intelektual. Ia memberikan pemahaman logis. Diceritakan bahwa suatu ketika, ada seorang biksu yang datang menemui Sunan Ampel. Biksu tersebut bertanya. “Setiap hari tuan melakukan sembanyang menghadap ke arah kiblat. Apakah Tuhan tuan ada di sana?

Sunan Ampel balas bertanya, “Setiap hari Anda memasukkan makanan ke dalam perut agar Anda bisa bertahan hidup. Apakah hidup Anda ada di dalam perut?

Biksu itu diam tak menjawab. Kemudian dia bertanya lagi, “Apa maksud tuan berkata begitu?

Saya sembayang menghadap kiblat, tidak berarti Tuhan berada di sana. Saya tidak tahu Tuhan berada di mana. Sebab, kalau manusia mengetahui keberadaan Tuhannya, lantas apa bedanya manusia dengan Tuhan? Kalau demikian buat apa saya sembanyang?

Dan, si biksu pun kemudian masuk Islam.

Dialog antara Sunan Ampel dan biksu ini mengingatkan kita kepada dialog antara Nabi Ibrahim As dan Raja Namrudz. Ketika Nabi Ibrahim dituduh menghancurkan tuhan-tuhan mereka, Nabi Ibrahim menjawab, “Tuhan yang paling besar (patung paling besar) inilah yang melakukannya.” Hanya saja, setelah dialog tersebut selesai, Namrudz tidak mau menerima kebenaran Islam meski hati kecilnya mengetahui. Sementara si biksu mau menerima kebenaran Islam.

Metodologi dakwah Sunan Ampel tak sama dengan motodologi dakwah Sunan Kalijaga dan Sunan Muria. Jika Sunan Kalijaga dan Sunan Muria menggunakan pendekatan seni-budaya Jawa sebagai media dakwah, maka Sunan Sunan Ampel lebih mengutamakan pendekatan intelektual dengan memberikan pemahaman tentang Islam melalui wacana, diskusi yang cerdas dan kritis, serta dapat dinalar oleh akal.

Walau demikian para ahli sejarah Islam Indonesia ada yang berpendapat bahwa urgensitas budaya sebagai media alternatif tak bisa dibantah. Sejarah membuktikan bahwa pendekatan kultur-budaya yang dimainkan oleh Sunan Kalijaga berhasil dengan sangat gemilang mengajak masyarakat untuk ber-Islam.

Pendekatan kultur-budaya memang sangat relevan untuk komunitas masyarakat menengah ke bawah. Sedang untuk obyek intelektual kelas atas adalah sangat pas bila menggunakan cara yang ditempuh Sunan Ampel.

Lagi pula, untuk masyarakat akar rumput, Sunan Ampel tetap menggunakan metodologi dakwah “klasik”. Dengan begitu, beliau telah memadukan dua metodologi dakwah sehingga tercipta harmonisasi ulama dan umara.

Sunan Ampel menganut mahzab Hanafi. Namun, kepada para santrinya, beliau hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dialah yang mengenalkan istilah Moh Limo, yaitu moh main (tak mau berjudi), moh ngombe (tak mau minum minuman keras), moh maling (tak mau mencuri), moh madat (tak mau menggunakan narkotik) , dan moh madon (tak mau berzina).

Diperkirakan Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 Masehi di Demak. Jasadnya dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel Surabaya.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top