Biografi Mukti Ali Dan Pemikirannya Tentang Pluralisme Agama

4/14/2017

Prof Dr H Abdul Mukti Ali merupakan tokoh besar yang mempelopori perlunya pembaruan Islam di era Indonesia modern. Ia juga dikenal angat moderat dan mau menghargai pluralisme, baik di kalangan internal Islam maupun eksternal (di luar Islam).

Selain itu, Mukti Ali juga sangat peduli dengan dunia pendidikan. Kepeduliannya tersebut terlihat dari kegemarannya mengajar di perguruan tinggi tanpa lelah. Bahkan saat tubuhnya sudah sangat lemah karena dimakan usia, ia masih tetap mengajar. Cuma, bukan lagi beliau yang mendatangi para mahasiswanya di kampus melainkan para mahasiswalah yang mengunjunginya di rumah.

Biografi Mukti Ali Dan Pemikirannya Tentang Pluralisme Agama

Alumnus UII -- yang dulu bernama STI -- ini lahir di kota Cepu, 23 Agustus 1923. Pada usia 8 tahun, ia masuk HIS (sekolah dasar tujuh tahun berbahasa Belanda). Dan ketika berumur 17 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur.

Setelah perang dunia kedua usai, Mukti Ali muda yang fasih berbahasa Inggris melanjutkan studi ke India. Di negera Taj Mahal ini, beliau mengantongi gelar doktor sekitar tahun 1952. Setelah itu, beliau kembali melanjutkan pendidikannya ke McGill University, Montreal, Kanada, dan memperoleh gelar MA.

Ketika belajar di McGill University, Mukti Ali sudah mencoba menganalisis gerakan pembaruan Islam Muhammad Abduh dan Ahmad Dahlan. Meskipun saat itu Mukti Ali hanya membandingkan gagasan pembaruan dari kedua tokoh tersebut, namun keinginannya untuk melakukan hal yang sama sudah tumbuh.

Pada saatnya kelak, Mukti Ali sudah melahirkan banyak gagasan pembaruan. Bahkan gagasannya berbeda dengan kebanyakan pemikir dan tokoh pembaruan Islam lainnya. Gagasannya relatif tidak menimbulkan perlawanan dari kalangan yang tak sepaham dengannya.

Uniknya lagi, pembaruan yang dilakukan Mukti Ali tidak gegap pempita, tidak pula bergaya provokatif, tapi disertai dengan solusi. Kalaupun ada kritikan terhadap pemikirannya, itu lebih disebabkan karena sikap Mukti Ali terhadap para pemikir Islam di masa itu. Misal, sebagian kalangan menilai Mukti Ali lebih banyak melindungi buah pikiran Ahmad Wahib atau Harun Nasution dari pada mengkritiknya.

Mukti Ali juga cenderung menjaga hubungan baik dengan kalangan Masyumi ketika itu. Bahkan beliau pernah menjadi sekretaris M Natsir, mantan ketua umum Masyumi. Selain itu, beliau juga membina hubungan baik antara NU dan Muhammadiyah serta memelopori gerakan kerukunan antar-umat beragama.

Ketika terjadi pro-kontra penerimaan asas tunggal Pancasila, Mukti Ali melakukan langkah yang agak kontradiktif. Ia menyarankan umat Islam untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Alasannya sederhana saja. Dengan menerima asas tunggal, Islam bisa masuk ke jajaran pemerintahan dan dapat memperjuangkan nasib mereka sendiri.

Puncak karier politik Mukti Ali terjadi pada kurun waktu 1971 hingga 1978. Ia dipercaya menjadi menteri agama. Semasa menjabat, banyak gagasan yang berhasil ia realisasikan. Misalnya, kerukunan antar-umat beragama.

Bagi Mukti Ali, kerukunan beragama ini penting untuk menciptakan harmonisasi kehidupan nasional. Apalagi di masa-masa itu, konflik antar-umat beragama sering terjadi. Bahkan tak jarang berlanjut dengan konflik fisik. Terapi ini dilandasi oleh prinsip Islam yang mempercayai tigal hal penting, yakni kebebasan hati nurani secara mutlak, persamaan kemanusiaan secara sempurna, dan solidaritas dalam pergaulan yang kokoh.

Model kerukunan umat beragama yang digagas Mukti Ali sempat menimbulkan perlawanan di kalangan umat Islam sendiri. Menurut pendapat mereka, apa yang dilakukan umat Kristiani sudah kelewat batas. Mereka menghalalkan segala cara untuk memuluskan aksi Kristenisasi. Mulai dari mengiming-iming harta, pendidikan dan pengobatan gratis, sampai "nikah paksa".

Namun dalam pandangan Mukti Ali, justru semua itu bisa ditangkis dengan cara memperkuat aqidah dan memperbaiki kondisi ekonomi umat Islam. Tidak dengan melakukan hal serupa sebagai aksi balas dendam.

Setelah tak lagi menjabat sebagai menteri agama, pemikiran dan gagasan Mukti Ali diteruskan oleh penggantinya, Alamsyah Ratu Perwiranegara. Bahkan, oleh Alamsyah, konsep kerukunan antar-umat beragama dikembangkan menjadi Trilogi Kerukunan. Yaitu, kerukunan internal umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.

Selain gagasan kerukunan umat beragama, Mukti Ali juga menerapkan ide perlunya pesantren memiliki peternakan ayam ras. Lagi-lagi, ide ini mendapat tantangan meskipun akhirnya banyak pula pesantren yang berhasil mengembangkan usahanya. Keberhasilan "ayamisasi" ini selanjutnya menjadi terobosan baru. Tak mengherankan bila kemudian pesantren-pesantren "kebanjiran" alat-alat keterampilan seperti mesin jahit, obras, alat pertukangan, las, dan lain sebagainya.

Dikemudian hari, keterampilan pertukangan dan peternakan ini berkembang lagi menjadi keterampilan bercocok tanam dan berkebun. Tak bisa dipungkiri, program-program agro-industri dan agro-bisnis di pesantren yang terus berkembang hingga saat ini adalah buah karya Mukti Ali.

Tak hanya itu, Mukti Ali juga menyatukan pola pendidikan sekolah umum dan madrasah yang selama ini selalu mengeluarkan output yang berbeda. Penyatuan pola tersebut dilakukan melalui SKB tiga menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri.

Dalam SKB itu diubahlah kurikulum lama di setiap madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah. Pendidikan umum dimasukkan. Perbandingannya 30 persen pendidikan umum dan 70 persen pendidikan agama.

Dengan pola baru tersebut, setiap tamatan sekolah madrasah dapat melanjutkan pendidikannya ke sekolah umum setingkat di atasnya. Madrasah ibtidaiyah dapat melanjutkan ke SLTP/SMP, madrasah tsanawiyah dapat meneruskan ke SMU dan tamatan madrasah aliyah dapat meneruskan ke perguruan tinggi umum seperti IPB, ITB, UGM maupun UI.

Hingga masa senjanya, beliau telah menulis puluhan buku. Antara lain: Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini; Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia; Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika; Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, Muhammad Iqbal; Ta’limul Muta’alim versi Imam Zarkasyi; Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam; Asal Usul Agama; dan Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan.

Mukti Ali meninggal pada 5 Mei 2004 di RSU Dr Sardjito, Yogyakarta dalam usia 81 tahun. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman keluarga besar UIN Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kalasan, Sleman. Ia meninggalkan seorang istri bernama Siti Asmadah, 3 orang anak dan 4 orang cucu.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top