"Dunia adalah sekadar busa bagi lautan. Jika engkau seorang suci, maka lampauilah dosa".
Syair religius tersebut adalah cuplikan puisi karya sufi besar Persia, Jalaluddin Rumi. Telah beribu karyanya mempesona jutaan orang. Tapi, adakah yang menyangka kalau darah penyair yang mengalir dalam dirinya diawali ketika ia berusia cukup tua, 48 tahun?
Sebelumnya, Jalaluddin Rumi yang lahir di Balkh Afganistan pada 30 September 1207 M atau 6 Rabiul Awal 604 H adalah seorang besar yang memimpin sebuah madrasah
dengan jumlah murid sekitar 4.000 orang. Pertemuannya dengan seorang ulama besar Muhammad ibn Ali ibn Malik Daad, yang lebih dikenal dengan nama Syamsuddin Al Tabriz
, telah mengubah hidupnya. Jalaluddin Rumi menjadi sosok sufi.
Di mata Jalaluddin Rumi, Tabriz adalah sosok sempurna. Dialah yang mengantar Rumi mengenal Allah lebih mendalam. Saat Jalaluddin Rumi harus berpisah dengan sahabat sekaligus gurunya itu, ia sempat terguncang. Ia dilanda kesedihan luar biasa.
Untuk mengenang dan juga menyanjung gurunya ini, Jalaluddin Rumi menulis syair-syair sebagai ungkapan emosinya. Antologi syairnya dikenal dengan nama Divan-i Syams-I Tabriz. Adapun petuah dan nasehat gurunya, dibukukan dalam Maqalat-I syams Tabriz.
Kepergian Tabriz, ternyata tak membuat Jalaluddin Rumi patah semangat mendalami tasawuf. Apalagi setelah ia mendapat sahabat baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad
. Sahabatnya ini menjadi sumber inspirasi dalam merampungkan karya-karyanya. Berkat dorongan Hisamuddin pula, Jalaluddin Rumi mampu menghasilkan himpunan syair mengagumkan yang diberi nama Masnawai.
Masnawi terdiri dari 6 jilid dan 20.700 ajaran tasawuf. Masnawi merupakan karya besar terakhir semasa hidup Jalaluddin Rumi yang digarap selama 15 tahun.
Bersama syekh Hisamuddin pula, Jalaluddin Rumi mengembangkan tarekat Jalaliyah atau Maulawiyah. Di Barat, tarekat Jalaliyah dikenal dengan The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang berputar-putar). Nama tersebut muncul dikarenakan para penganut tarekat Jalaliyah melakukan tarian berputar-putar, diiringi oleh gendang dan suling dalam dzikir mereka
.
Menjelang ajalnya, Jalaluddin Rumi mengalami sakit keras. Saat sahabatnya menjenguknya dan mendo’akan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan,”
Rumi menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi, kematian akan pahit bagi kaum kafir.”
Jalaluddin Rumi menghadap sang Ilahi di usia 68 tahun pada Jumadil Akhir 672 H.
Jalaluddin Rumi Lahir Dari "Bibit Unggul"
Jalaluddin Rumi sebetulnya lahir dari ‘bibit unggul’. Ayah Jalaluddin Rumi, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, masih memiliki garis keturunan Abu Bakar al- Shidiq
, sementara ibunya masih ada hubungan darah dengan Ali ibn Abi Thalib
. Pada masa kanak-kanak, Jalaluddin Rumi mendapat dididikan dari ayahnya sendiri yang merupakan seorang ulama besar. Setelah remaja, ia dipercayakan kepada salah satu muridnya, Sayyid Burhanuddin, sebelum hijrah dari Balkh
.
Baca juga:
Ayah Jalaluddin Rumi bergelar Sulthanul Ulama (raja ulama)
berkat ketinggian ilmu agama dan kharisma yang dimilikinya. Namun, ulama lain merasa iri dengan gelar tersebut. Bahauddin Walad difitnah dan penguasa Balkh termakan hasutan. Akibatnya, Bahauddin Walad sekeluarga terpaksa meninggalkan Balkh, hidup berpindah-pindah dari suatu negara ke negara lain
. Begitulah seterusnya hingga akhirrnya keluarga Rumi menetap di Konya, Turki.
Menurut Muhammad Iqbal, seorang ulama besar, Jalaluddin Rumi termasuk sufi penganut madzhab realitas utama sebagai keindahan. Sebagaimana Ibnu Sina, cara pandangnya melihat "wajah Tuhan" tercermin dalam alam semesta. Bagi Rumi, alam semesta ini merupakan pantulan "keindahan abadi".
Jalaluddin Rumi berpendapat bahwa obyek cinta rohani yang sesungguhnya adalah keindahan Tuhan
. Tuhan adalah ketidakterbatasan, sehingga rasa cinta menjadi terang dan jelas. Cinta yang penuh dan terpadu berputar mengelilingi sesuatu titik tunggal yang tak terlukiskan, Allah SWT.
Selain itu, kata Rumi, cinta adalah lenyapnya kedirian, yaitu kesatuan sempurna antara kekasih Tuhan dengan Tuhan. Dengan ketiadaan diri (fana) berarti terbuka bagi memancarnya cahaya Ilahi. Dengan kata lain, Tuhan adalah segala-galanya, tak ada yang lebih diagungkan selain Dia
. Kekuatan Jalaluddin Rumi ada pada Cinta. Suatu pengalaman cinta dalam makna manusiawi dan benar-benar didasarkan pada kebesaran Ilahi
. Bukan cinta imitasi pada sesama manusia atau mahluk Tuhan lainnya.
« Prev Post
Next Post »