Malik bin Nabi Cendikiawan Muslim Pembangun Peradaban

4/15/2017

Dunia ide lebih bermakna dari dunia benda. Itulah salah satu ungkapan cendikiawan Muslim abad 20, Malik bin Nabi. Ia mencoba membelalakkan mata manusia akan pentingnya membangun intelektual bangsa, jauh lebih penting ketimbang materi.

Malik bin Nabi hidup pada masa penjajahan Perancis. Keadaan ini menyadarkannya akan bahaya imperalis kepada kaum Muslim. Penjajah telah mengubah identitas dan kebudayaan Islam menjadi pemujaan kepada materi.

Malik bin Nabi Cendikiawan Muslim Pembangun Peradaban

Tak hanya itu, kepintarannya akan ilmu-ilmu eksakta membuat analisis sosialnya bertambah tajam. Ia mampu menganalisis kelemahan tokoh-tokoh pergerakan sebelumnya. Jamaluddin al-Afghani, misalnya, hanya memfokuskan pada pembaruan politik dunia Islam. Pembaruan tersebut terbatas pada bentuk pan- Islamisme dan sistem undang-undang. Padahal, menurut Malik bin Nabi, pembaruan diri manusia justru lebih penting.

Malik bin Nabi juga mengungkapkan kelemahan pemikiran Muhammad Abduh. Menurutnya, pemikiran Abduh banyak terfokus pada pembaruan ilmu kalam (teologi). Padahal, masyarakat Islam pascaperadaban tidak memiliki permasalahan dalam akidah. Akar permasalahan justru terletak pada tidak potensialnya akidah dan tidak memberikan fungsi sosial.

Malik bin Nabi ingin menyempurnakan semua kekurangan-kekurangan ini. Menurutnya, jika esensi persoalan tidak disentuh, solusi pun tak kunjung datang. Alhasil, masyarakat Islam lebih suka menyerap budaya Barat, hingga makin jauh dari pembenaran Islam.

Malik bin Nabi Semasa Kecil

Malik bin Nabi punya nama lengkap Malik bin al-Haj Umar bin al-Hadlari bin Mustafa bin Nabi. Ia lahir pada 2 Januari 1905 di Tebessa, Aljazair. Saat itu, Aljazair masih menjadi tanah jajahan Perancis.

Keluarga Malik bin Nabi hidup sederhana tapi punya kepedulian tinggi terhadap pendidikan. Apalagi pendidikan masyarakat di sekitarnya masih sangat rendah. Sebagai negara jajahan, hanya segelintir orang yang mampu bersekolah.

Malik kecil memperoleh pendidikan agama dari sebuah Madrasah al-Qur’an di Kuttab, Aljazair. Ia juga sempat mengenyam pendidikan dasar di sekolah Perancis di Aljazair.

Di sekolah Perancis tersebut, Malik bin Nabi seringkali menerima perlakuan diskriminatif. Ia pernah mendapat prestasi tertinggi di kelasnya, namun predikat terbaik justru diberikan kepada pelajar Perancis. Pihak sekolah mengenyampingkan prestasi Malik lantaran ia pribumi.

Pengalaman pahit inilah yang membuat empati Malik bin Nabi terasah. Ia telah menangkap fenomena di sekolahnya sebagai gambaran diskriminasi kolonial. Hal tersebut membuat Malik bin Nabi membuktikan kemampuannya, merombak belenggu diskriminasi demi keadilan manusia. Kepandaian Malik bin Nabi membawa berkah. Ia mendapat beasiswa meneruskan pendidikan menengahnya di El-Djelis Constantine Aljazair.

Setelah menamatkan pendidikan di Aljazair, Malik melanjutkan studinya di Perancis pada tahun 1930. Pada awalnya, Malik bin Nabi begitu menggemari karya sastra Perancis. Ia banyak membaca novel-novel karya Jules Verne, Pierre Lotti, dan Claude Farrere.

Namun yang banyak mempengaruhi kehidupannya justru buku-buku tentang kemanusiaan, seperti buku L’Histoire sociale de l’humanite (Sejarah Sosial Kemanusiaan) karya Courtellemont, Umm al Qura (ibu kota), karya al-Kawakibi, Risalah Tauhid karya Muhammad Abduh, dan Keruntuhan Akhlak dalam Politik Barat karya Rasyid Ridha.

Pada waktu yang sama, disamping menggandrungi syair-syair Arab klasik, Malik bin Nabi juga berguru pada Syeh Maulud bin Mauwhub, mufti Constantine yang progresif dan terbuka.

Pada tahun 1931, Malik bin Nabi menikah dengan wanita Perancis yang telah masuk Islam (muallaf). Selama masa belajar, ia banyak terlibat pada gerakan pembaharuan. Di sinilah Malik bin Nabi banyak bertemu dengan tokoh-tokoh Islam dari Mesir, Hijaz, dan Maghrib. Malik bin Nabi menghabiskan waktu selama lima tahun untuk belajar di Perancis dan meraih gelar insinyur elektro di tahun 1935.

Setelah menamatkan pendidikannya di Perancis, Malik bin Nabi kembali ke Aljazair. Di negeri kelahirannya ini, ia mendapat kepercayaan sebagai pegawai pengadilan. Sepak terjangnya menangani berbagai kasus membuat Malik memahami seluk-beluk permasalahan yang menimpa rakyat Aljazair.

Aljazair merdeka di tahun 1962. Pada tahun itu pula, Malik bin Nabi diangkat sebagai pembimbing di Kementrian Pendidikan hingga tahun 1967.

Pilar Peradaban Malik bin Nabi

Malik bin Nabi, filsuf kontemporer, merumuskan tiga pilar suksesnya peradaban. Ketiganya adalah manusia, tanah dan masa. “Agama adalah katalisator yang menjadikan manusia, tanah, dan masa berfungsi sebagai kekuatan sejarah. Agama menyebabkan kelahiran suatu peradaban. Bukan hanya peradaban Islam, Kristen Eropa, dan Buddha Cina saja, tetapi komunis yang anti-agama juga lahir dari pemikiran agama,” kata Malik bin Nabi.

Sepanjang perjalanan sejarah manusia berinteraksi dengan masa dan ruang, manusia tercipta sebagai kepribadian-kepribadian sosial.

Tanah (turab), sebagai faktor kedua, adalah sumber alam yang lebih berkaitan dengan konsep-konsep sosial. Istilah tanah digunakan untuk menjauhi istilah "materi" (madah). Perkataan "materi" dalam akhlak berarti sesuatu yang berlawanan dengan ‘roh’. Dalam sains, materi adalah lawan dari perkataan ‘energi’. Dalam filsafat, "materi" memberi maksud yang berlainan dengan ide.

Masa adalah faktor ketiga. Masa berarti nilai (value) kehidupan manusia dalam hubungannya dengan sejarah, kebangkitan ilmu, produktivitas, dan pencapaian peradaban.

Ketiga faktor tersebut tidak secara otomatis membentuk peradaban. Sama seperti air (H2O) dalam teori kimia. Air pada dasarnya terbentuk dari atom hidrogen dan oksigen. Kendati kedua unsur tersebut ada di alam, tidak serta merta terbentuk air. Proses pembentukan air turut dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu katalisor yang dapat mempercepat proses penyusunan dua unsur tadi.

Demikian juga peradaban. Kendati sudah tersedia faktor manusia, tanah, dan masa, masih diperlukan faktor lain sebagai katalisor untuk mengolah dan menyusun ketiga unsur tersebut. Katalisor itu adalah agama.

Gagalnya sebuah peradaban bukan karena tidak adanya faktor peradaban. Melainkan karena minimnya aplikasi teori agama dalam kehidupan.

Manusia, sebagai salah satu faktor peradaban, perlu meningkatkan kualitas pribadinya. Kurangnya ide (pemikiran) akan menghambat terciptanya sumber-sumber baru. Ide adalah alat untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa dan masa ke masa. Tidak adanya kreativitas ide akan membunuh semangat dan usaha ke arah perbaikan.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top