Sayyid Quthb, penulis tafsir monumental Fi Zhilalil Qur’an, ini lahir di Musyah, Propinsi Asiyuth, pesisir Mesir, pada tanggal 9 Oktober 1906. Di usia 10 tahun Sayyid Quthb sudah menjadi hafidz. Ayahnya bernama Quthb bin Ibrahim al-Syadzily al-Mishry, seorang tuan tanah yang dermawan, sekaligus sebagai salah seorang anggota Partai Nasional yang dipimpin oleh Mustafa Kamal. Saat meletusnya revolusi Mesir yang dikomandoi oleh Sa’ad Zaglul dalam rangka menentang kolonial Inggris pada tahun 1919 M. Kala itu, Sayyid Quthb masih berusia 13 tahun. Tapi ia sudah ikut turun ke jalan, berpidato di masjid-masjid dan membacakan syair-syair heroik guna membakar semangat rakyat.
Pada usia 14 tahun, Quthb berangkat ke Kairo dan menetap di rumah pamannya, seorang wartawan lulusan Universitas Al-Azhar, di daerah Zaitun. Ini ditempuhnya atas dorongan sang ibu yang menginginkan Quthb menjadi orang yang berpendidikan tinggi seperti pamannya.
Selama lima tahun, Sayyid Quthb belajar di Madrasah Abdul Aziz, Kairo. Ia lulus tahun 1925. Kemudian, ia melanjutkan studi pendidikan guru selama dua tahun hingga 1927. Pada tahun yang sama, ia juga kuliah di Darul Ulum University, satu almamater dengan Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin. Tepat pada tahun 1933, ia mengantongi gelar Lc (lisence) bidang sastra dan diploma tarbiyah bidang Bahasa Arab.
Setelah itu Sayyid Quthb ditugaskan oleh Departemen Pendidikan Mesir menjadi tenaga pengajar pada sebuah sekolah dasar selama enam tahun (1933-1939). Setelah itu ia ditugaskan oleh pemerintah Mesir sebagai pengawas di Departemen Ilmu Pengetahuan dan diangkat menjadi manajer membantu DR Toha Husen yang memegang jabatan tertinggi pada saat itu.
Sebagai kepala Departemen Ilmu Pengetahuan, Sayyid Quthb mencurahkan banyak perhatian pada riset Islamiyah dan Dirasat al-Qur’an. Dari hasil riset tersebut Sayyid Quthb menulis untuk pertama kalinya tentang keadilah sosial dalam pandangan Islam yang dimuat pada majalah Assu’un al-Ijtimaiyyah pada tahun 1944.
Pada tahun 1046, Sayyid Quthb menjalin hubungan erat dengan Ikhwanul Muslimin, gerakan Islam yang paling menonjol pada saat itu.
Pada tahun 1948, Sayyid Quthb diutus oleh Departemen Pendidikan Mesir ke Amerika dalam rangka penelitian riset ilmiah. Maka di dalam risetnya. Sayyid Quthb mengarang buku berjudul Amrika al-lati Roaitu fi Mizan al-Qoyyim al-Insaniyah.
Sayyid Quthb pernah bekerja di bidang jurnalistik. Sejak masa muda, ia sudah menulis ratusan makalah di berbagai majalah dan surat kabar Mesir ternaman, seperti Al-Ahram, Ar-Risalah, dan Al-Tsaqafah. Ia juga menerbitkan majalah Al-Alam Al-Arabi dan Al-Fikrul Jadid, kemudian memimpin surat kabar mingguan Al-Ikhwanul Muslimun pada tahun 1953. Di tahun itulah ia secara resmi bergabung dengan organisasi Ikhwanul Muslimin.
Dalam makalah-makalahnya, Sayyid Quthb memerangi bentuk-bentuk penyimpangan pada kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Mesir. Sayyid Quthb menyerang pihak-pihak yang bertanggungjawab atas kerusakan di Mesir dan menyerukan perbaikan berdasarkan prinsip Islam.
Sayyid Quthb juga menegaskan bawah Inggris, petinggi-petinggi kerajaan serta pemerintahan yang menjadi antek-antek penjajah dan melakukan kolaborasi dengan mereka, tokoh-tokoh partai, dan konglomerat, merupakan biang keladi keterbelakangan Mesir
.
Pada tahun 1977, Sayyid Quthb berubah haluan dengan menjadi reformer Islami. Bahkan gaung tokoh pelopor pemikiran Islam kontermporer yang paling menonjol desematkan padanya. Ia menyerukan kebangkitan Islam yang bersifat kepeloporan dan dimulainya kehidupan berdasarkan Islam. Karena itu ia menafsirkan Fi Zhilalil Qur’an.
Sayyid Quthb menyerukan isolasi spiritual yang berkaitan dengan perasaan dan naluri seorang Muslim, bukan isolasi material yang berkaitan dengan fisik dan anggota badan, dalam batas-batas yang dihalalkan Allah dan menjauhi apa yang diharamkan-Nya, ia berpendapat, isolasi spiritual muncul secara refleks pada perasaan seorang Muslim yang berkomitmen terhadap orang-orang yang tidak patuh pada perintah-perintah Islam
.
Namun, Sayyid Quthb tak pernah mengeluarkan vonis kafir kepada masyarakat. Ia pernah berkata, “Tugas kita bukan menetapkan vonis kepada orang lain. Tugas kita adalah mengenalkan kepada mereka hakikat Laa Ilaha Illallah, karena mereka tidak tahu konsekwensi esensial syahadat ini, yaitu berhukum kepada syariat Allah.
”
Akidah Quthb adalah salafush shahih. Pemikirannya juga salafi yang terfokus pada tema tauhid yang murni, penjelasan makna hakikat Laa Ilaha Illallah yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah
. Dalam beberapa bukunya ia mengkonsentrasikan diri pada masalah hakimiyah dan loyalitas murni hanya untuk Allah semata
.
Pada tanggal 23 Agustus 1950, Sayyid Quthb pulang dari Amerika dan bekerja di Departemen Pengetahuan Umum Kairo sebagai pembantu pengawas di departemen yang waktu itu dipegang oleh Ismail al-Qabbany. Pada tanggal 10 Mei 1952. Sayyid Quthb menjadi pembantu pengawas di badan penelitian seni, sampai akhirnya mengundurkan diri pada tanggal 18 Oktober 1952 M.
Suatu ketika Sayyid Quthb mengatakan, “Islam yang diinginkan Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya di Timur Tengah bukan Islam yang menentang penjajahan dan kesewenan-wenangan. Tapi, Islam yang menentang komunisme. Sebab mereka tidak menginginkan Islam berkuasa
.”
AS, kata Quthb, menghendaki Islam yang berfatwa tentang apa saja yang bisa membatalkan wudlu, bukan berfatwa tentang kondisi politik, ekonomi, sosial, dan financial kaum Muslimin
. “Ini lelucon, bahkan ironi,
” kata Sayyid Quthb.
Setelah itu Quthb menjadi mubalig terkenal sekaligus tokoh pemikir Islam di Mesir. Tanggal 3 Januari 1954, keluarlah keputusan dari dewan kementrian Mesir yang berisi penangkapan jamaah Ikhwanul Muslimin. Maka, ribuan anggota Ikhwanul Muslimin ditangkap lalu dijebloskan ke penjara, termasuk Sayyid Quthb, dengan tuduhan persekongkolan untuk menggulingkan pemerintah Jamal Abdul Naser.
Baca juga:
Memang, sejak bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, Sayyid Quthb sering keluar masuk penjara. Terakhir, ia ditangkap pemerintah Jamal Abdul Naser bersama kawan-kawannya setelah organisasinya dinyatakan terlarang. Ia ditangkap dalam keadaan sakit parah. Dalam perjalanan menuju penjara, ia disiksa dan dianiaya tak henti-hentinya. Sampai di tahanan, seekor anjing dilepaskan untuk menggonggong dan menggigitnya. Penyiksaan terus berlanjut sampai sekitar tujuh jam.
Sayyid Quthb kemudian divonis 15 tahun penjara. Di dalam tahanan, ia mengalami bentuk siksaan yang pedih lagi menyakitkan. Walau demikian, Sayyid Quthb masih sempat menulis. Beberapa karyanya, antara lain, Hadza al-Dien dan al-Mustaqbali-Hadza al-Dien.
Karya yang paling menumental semasa hidup di penjara adalah Fi Zhilalil Qur’an. Setelah dipotong masa tahanan pada bulan Mei 1964, ia pun dibebaskan.
Tahun 1965, Abdul Naser mengumumkan adanya pembunuhan kembali atas dirinya oleh Ikhwanul Muslimin di bawah pimpinan Sayyid Quthb. Akibat peristiwa ini, Quthb ditahan untuk ketiga kalinya tanggal 9 Agustus 1965.
Penyelidikan terhadap Sayyid Quthb dilakukan di penjara perang tanggal 19 Desember 1965 selama tiga hari. Pengadilan di penjara tersebut diketuai Fuad Ad-Dajwi dan menjatuhkan hukuman mati atas Quthb tanggal 21 Agustus 1966. Padahal pemerintah Mesir telah menerima sejumlah telegram dari penjuru dunia Arab dan Islam yang menuntut Abdul Naser tidak melaksanakan hukuman mati terhadap Quthb.
Raja Faisal bin Abdul Aziz Ali Saud mengirim telegram kepada Abdul Naser tanggal 28 Agustus 1966. Isinya, meminta Naser tidak menjatuhkan hukuman mati kepada Sayyid Quthb. Sami Syaraf, pejabat Mesir, meyerahkan telegram Raja Faisal sore harinya kepada Naser. Lalu Naser berkata, “Laksanakan hukuman mati besok pagi saat fajar dan berikan kepadaku telegram setelah pelaksanaan eksekusi mati.
”
Akhirnya, Sayyid Quthb menemui ajalnya pada hari Senin 29 Agustus 1966, sebelum terbit fajar.
« Prev Post
Next Post »