Banyak buku sejarah yang mengulas kisah perjuangan Si Singamangaraja XII, pahlawan nasional dari Sumatera Utara. Tapi sayang, hanya sedikit yang menyebut apa agama Sang Maharaja Negeri Toba ini. Bahkan kontroversi agama yang dianutnya masih menjadi perdebatan hingga saat ini.
Menurut sejarawan Islam, Ahmad Mansur Suryanegara, Si Singamangaraja XII adalah seorang Muslim. Ia berasal dari keluarga Sinembela. Ia memiliki nama lain Patuan Besar Ompu Pulo Batu.
Ada yang mengesankan Si Singamangaraja XII beragama Nasrani. Kesan ini muncul mengingat masyarakat Tapanuli kebanyakan beragama Kristen. Ini tak lain karena gencarnya Kristenisasi yang dilakukan Belanda pada masa penjajahan. Tujuannya, apalagi kalau bukan ingin menguasai Tapanuli.
Ada juga masyarakat yang mengatakan Si Singamangaraja XII menganut agama pelbegu, semacam ajaran animisme yang memuja dewa. Padahal, kata Ahmad Mansur, ini tak masul akal. Perhatikan stempel di kerajaan Si Singamangaraja XII, ada tulisan Arab berbunyi: Inilah Cap Maharaja di negeri Toba kampung Bakara nama kotanya. Hijrah Nabi 1304
.
Penggunaan tahun Hijriah pada stempel tersebut jelas menunjukkan bahwa Si Singamangaraja XII adalah seorang Muslim. Adapun huruf Batak yang sering ia gunakan untuk berkirim surat sama sekali tak menunjukkan kalau ia seorang non-Muslim. Ini sama saja seperti Pangeran Diponegoro yang sering menulis surat dengan huruf Jawa.
Beberapa media massa Belanda juga menyebut bahwa Si Singamangaraja XII beragama Islam. “Volgens berichten van de bevolking moet de togen, woordige tituleris een 5 tak jaren geleden tot den Islam zijn bekeerd, doch hij werd geen fanatiek Islamiet en oefende geen druk op zijn omgeving uit om zich te bekeeren. (menurut kabar-kabar dari penduduk, raja yang sekarang (tituleris adalah Si Singamangaraja XII) semenjak 5 tahun lalu memeluk agama Islam yang fanatik, demikian pula dia tidak menekan supaya orang-orang di sekelilingnya menukar agamanya).
Berita tersebut jelas menunjukkan bahwa Si Singamangaraja XII beragama Islam. Bahkan ia tak memaksa rakyatnya untuk ikut memeluk agama yang ia anut. Berbeda dengan penyebaran agama Kristen yang dilakukan oleh Belanda di Toba, di sertai dengan aksi kekerasan. Mereka tak segan-segan menyerbu dan membunuh orang-orang yang tak mau mengikuti agamanya.
Saat Si Singamangaraja XII dinobatkan menjadi raja di negeri Toba, Politik Pintu Terbuka mulai diterapkan oleh Belanda. Semua wilayah di Sumatera wajib menandatangani Korte Verklaring (penjanjian pendek). Namun Aceh dan Tapanuli menolak. Mereka justru menjalin hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainnya.
Tentu saja Belanda marah dan memaksa Si Singamangaraja XII memenuhi apa yang mereka inginkan. Paksaan dari Belanda ini disambut Si Singamangaraja dengan kemarahan pula. Perang berkepanjangan pun dimulai.
Selama masa perlawanan bersenjata ini, Si Singamangaraja XII dibantu Panglima Nali dari Minangkabau dan Panglima Teuku Mohammad dari Aceh. Kebetulan, letak kedua daerah itu berdekatan dengan Tapanuli ditambah keyakinan mereka pun sama.
Perang berkepanjangan ini tak juga berhenti ketika Belanda menggunakan cara yang licik dengan menahan ibu, permaisuri dan kedua putra Si Singamangaraja XII. Mereka memaksa Si Singamangaraja XII berunding. Namun Si Singamangaraja XII tetap menolak. Kebenciannya kepada Belanda sudah mendarah daging. Apalagi sejarah mencatat, sang kakek Si Singamangaraja X (Ompu Tuan Nabolon) dan putranya, Raja Lambung, dibunuh oleh Belanda.
Belanda terus berusaha keras mematahkan perlawanan Si Singamangaraja XII. Lama kelamaan, setelah para sekutu Si Singamangaraja XII mulai dapat dipatahkan, di antaranya para ulama Aceh dan Sumatera Barat, Si Singamangaraja XII mulai kewalahan. Apalagi persenjataan kedua belah pihak sangat tak seimbang.
Pada 17 Juni 1907, di bawah pimpinan Kapten Christoffel, Belanda menggempur pusat pertahanan Si Singamangaraja XII. Dalam penyerbuan itu, Si Singamangaraja XII bersama putrinya, Lopian, terdesak dan memilih gugur sebagai syuhada dari pada menyerahkan diri.
Kharisma Seorang Pemimpin
Raja Si Singamangaraja XII lahir tahun 1849 di Bakara, Tapanuli, sebuah daerah di tepian Danau Toba. Ia diangkat menjadi raja pada tahun 1867 menggantikan sang ayah Si Singamangaraja XI yang meninggal akibat terserang penyakit kolera.
Sebagaimana leluhurnya, Si Singamangaraja I sampai XI, Si Singamangaraja XII juga seorang pemimpin yang sangat menentang perbudakan yang saat itu masih sangat lazim di Indonesia. Jika pergi ke satu desa, ia selalu meminta agar penduduk desa tersebut memerdekakan orang yang dipasung karena hutang atau kalah perang.
Ketika tentara kolonial Belanda masuk ke daerah Tapanuli, Si Singamangaraja XII langsung melakukan perlawanan. Ia tak rela tanah airnya dijajah bangsa asing. Bagaimanapun caranya Belanda harus keluar dari Tapanuli.
Baca juga:
Awalnya, persengketaan antara Si Singamangaraja XII dan Belanda cuma sebatas adu urat syaraf. Perang ini tak membuahkan hasil. Kedua belah pihak tak ada yang mau mengalah. Belanda tetap ingin masuk Tapanuli, sedang Si Singamangaraja XII menolak. Jalan damai sudah tidak dapat ditempuh lagi.
Pada tanggal 9 Pebruari 1878 perang urat syaraf berganti menjadi perang terbuka. Pasukan Si Singamangaraja XII mulai menggempur pos-pos Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung. Kian lama pertempuran kian meluas. Masyarakat Balige dan Bakkara ikut mengangkat senjata, membantu pasukan Si Singamangaraja XII, mengusir Belanda dari Tapanuli. Sayangnya, persenjataan pasukan Si Singamangaraja XII sangat minim. Mereka terpaksa mundur dari dari Bakara.
Selama lima tahun, Si Singamangaraja XII menyusun kekuatan baru. Setelah dirasa cukup kuat, pada tahun 1883, mereka menyerang pasukan Belanda di Uluan dan Balige. Serangan pertama ini tak langsung memukul mundur pasukan Belanda dari dua tempat tersebut. Baru pada tahun 1884, Belanda bisa dihancurkan.
Belanda kemudian melipatgandakan kekuatannya. Mereka begitu sakit hati atas kekalahan di Balige dan Uluan. Sakit hati ini baru bisa terbalaskan ketika markas Si Singamangaraja XII pindah ke Lindong pada tahun 1889. Belanda menggempur habis-habisan markas Lindong dengan tujuan menangkap hidup atau mati putra Tapanuli tersebut. Lindong hancur lebur, namun Si Singamangaraja XII berhasil lolos.
Bertahun-tahun Belanda berusaha menangkap Si Singamangaraja XII, namun selalu gagal. Suatu hari mata-mata Belanda berhasil menemukan tempat persembunyian Si Singamangaraja XII di hutan daerah Simsim. Pada 17 Juni 1907 tempat persembunyian itu dikepung oleh Belanda. Setelah tak ada celah untuk melarikan diri dan pasukan Si Singamangaraja XII juga semakin terkepung. Belanda meminta putra Tapanuli ini menyerah. Permintaan tersebut tentu saja ditolak. Pertempuran dilanjutkan. Akhirnya Si Singamangaraja XII gugur bersama putrinya, Lopian.
Ada juga yang mencatat, Si Singamangaraja XII saat itu tersedak ke tepi jurang terjal bersama keluarga dan anak buahnya. Tak ada lagi tempat untuk meloloskan diri. Akhirnya mereka berusaha melawan dengan segenap kekuatan tersisa hingga menemui ajal.
Majalah Rheinische Missiongesellcharf yang diterbitkan oleh Belanda pada tahun 1907, Das der Singa Mangaraja, trotz seiner ibm zugescriebenen iibernaturalichen Krafte, battle fallen konnen, und dass ibn auch der ubertritt zum islam und seine verbindung mit den gefurchteten Atjehern. Artinya, bahwa Si Singamangaraja, kendati kekuatan adi-alamiah yang disebut-sebut ada padanya, dapat juga jatuh. Demikian juga halnya dengan beralihnya dia menjadi orang Islam dan hubungannya dengan orang Aceh yang ditakuti itu.
« Prev Post
Next Post »