Krisis Keuangan Global

Pemicu Krisis Keuangan

Awal krisis ekonomi di Amerika, merupakan salah satu akibat dari kebijakan ekonomi Presiden George W. Bush, yang bertahun-tahun membiayai perang Iraq, membiayai perang melawan terorisme, membiarkan defisit anggaran (APBN) terus menggelembung, dan dalam waktu yang sama mengalami defisit perdagangan luar negeri. Di sisi lainnya, tabungan rakyat Amerika sudah mulai minus, melampaui dengan yang dibelanjakan (disposable income). Guna membiayai ekonomi yang sangat boros, Presiden Bush terus meningkatkan utangnya, yang semakin menggelembung hingga mencapai jumlah trilyunan dolar. Kondisi inilah yang mendorong kehancuran ekonomi Amerika.

Makalah Krisis Keuangan Global

Kondisi ini ditambah sikap rakus yang dilakukan para ekskutif korporasi di Amerika yang tergiur iming-iming bonus besar di sektor properti, di saat bunga Bank Sentral Amerika (The Fed) rendah hanya sekitar 1-1,75% sepanjang tahun 2002-2004, mereka menyalurkan pinjaman besar-besaran ke sektor tersebut. Praktek ini menurut Avery Goodman (ahli pasar uang Amerika) sudah terjadi sejak periode 200l-2007.

Dan pada saat The Fed menaikkan bunga sampai 5,25% pada agustus 2007, sektor properti mulai bermasalah akibat banyaknya nasabah kredit rumah yang gagal bayar terutama kalangan menengah-bawah yang sebenarnya tidak layak menerima kredit. Sehingga perusahaan yang bermain di sektor tersebut tidak mampu membayar surat utang yang telah diterbitkan. Padahal di saat yang bersamaan banyak investor yang membutuhkan dana tunai dan likuiditas yang mendesak.

Akibatnya, untuk menutupi kebutuhan tersebut, mayoritas investor terpaksa menjual portofolionya (termasuk saham) secara besar-besaran di seluruh dunia yang mengakibatkan terempasnya pasar modal dunia. Problem ini akhirnya mempengaruhi likuiditas investmen bank seperti Bear Steam dan Lehman Brother yang melakukan sekuritisasi KPR yang disalurkan (melakukan pembelian utang KPR dan menjadikannya sekuritas lalu menjualnya di bursa saham). Yang perlu diingat, bila terjadi posisi ngemplang terhadap KPR tersebut secara massal, maka nilai sekuritas yang diperdagangkan akan menurun. Yang jadi masalah di sini adalah KPR-KPR yang dibeli oleh para investmen bank menggunakan utang, sehingga bila produk sekuritas ini menurun maka rumah yang dibangun di atas utang itupun akan kolaps total. Seperti kasus Lehman Brother, posisi utangnya hampir dua kali lipat dari assetnya. Ini membuktikan bahwa para ekskutif korporasi Amerika tidak lagi menaruh perhatian pada posisi keuangan korporasi, sehingga membiarkan perusahaan terjerat utang.

Berawal dari permasalahan di Wall Street (bursa efek) yang berada di aspek investmen bank, berkembang menjadi krisis keuangan global. Krisis ini juga dipicu oleh sektor perbankan yang takut menyalurkan kredit ke sektor produksi dan manufakturing sehingga kesulitan likuiditas. Sampai akhirnya memaksa pemerintah Amerika Serikat harus turun tangan untuk mengendalikan pasar secara dominan, baik langsung maupun tidak langsung dengan mengeluarkan dana talangan (bailout) sebesar 700 milyar dolar untuk penyelamatan Wall Street.

Apakah Akar Persoalan Krisis Tersebut?

Salah satu penyebab krisis tersebut adalah kepincangan sektor keuangan (moneter) dan sektor riel. Sektor keuangan berkembang cepat dan meninggalkan sektor riel. Tercabutnya sektor moneter dari sektor riel terlihat dengan nyata dalam kasus di atas. Transaksi di bursa saham sekarang ini mencapai lebih dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi di sektor riel berupa perdagangan barang dan jasa hanya sekitar 5% saja. Ada juga yang mengatakan, perbandingan tersebut tidak lagi 95% : 5%, melainkan 99% : 1%. Dalam tulisan Agustianto di sebuah seminar Nasional tahun 2007 di UIN Jakarta, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500 : 6 ), Jadi sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward, futures, dan options.

Di samping itu, krisis juga dipicu oleh penumpukan hutang nasional Amerika hingga mencapai 8.98 trilyun dollar sedangkan PDB hanya 13 trillion dollar. Dan juga adanya progam pengurangan pajak korporasi sebesar 1.35 trillion dollar, yang berarti mengurangi pendapatan negara Amerika sehingga memperlambat perkembangan ekonomi.

Dampak Krisis Keuangan

Bangkrutnya Lehman Brothers dan perusahaan-perusahaan raksasa Amerika (yang merupakan sektor keuangan) langsung mengguncang bursa saham di seluruh dunia. Bursa saham di kawasan Asia seperti di Jepang, Hongkong, China, Asutralia, Singapura, India, Taiwan dan Korea Selatan, mengalami penurunan drastis 7 sd 10 persen. Termasuk bursa saham di kawasan Timur Tengah, Rusia, Eropa, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Tak terkecuali di AS sendiri, Para investor di Bursa Wall Street mengalami kerugian besar, bahkan surat kabar New York Times menyebutnya sebagai kerugian paling buruk sejak peristiwa serangan 11 September 2001. Hampir semua pasar keuangan dunia terimbas krisis financial tersebut.

Indonesia juga terkena dampaknya. Pada tanggal 8 Oktober 2008, kemaren, IHSG tertekan tajam turun 10,38% dalam tempo kurang dari 2 jam yang membuat pemerintah panik dan terpaksa menghentikan (suspen) kegiatan pasar modal beberapa hari. Alasan suspen tersebut karena merosotnya indeks terlalu tajam tak sejalan dengan volume transaksinya yang kecil.

Selain berakibat di sektor keuangan, krisis juga akan menyedot dana yang sangat besar dari pemerintah AS maupun bank-bank sentral di seluruh dunia dalam penyehatannya. Sehingga menggoyang sistem pembayaran internasional dan keseimbangan neraca perdagangan antar bangsa. Bagaimana tidak, dana yang seharusnya untuk membiayai impor kini dipakai untuk menyehatkan sistem keuangan. Jika negara-negara maju itu menjadi tidak lagi bersedia membiayai impornya karena uang telah tersedot ke pasar uang, maka negara-negara eksportir pun akan mengalami kerugian. Lebih jauh lagi, sejumlah industri dan pabrik akan mengalami gulung tikar karena kesulitan likuiditas. Rasionalisasinya berdampak pada pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dan akhirnya menambah tingkat pengangguran secara drastis. Sehingga pendapatan ekonomi suatu negara juga akan menurun.

Solusi

  1. Pengaitan atau menyeimbangkan kembali antara sektor finansial dan sektor riel. Di dalam perekonomian jumlah uang yang beredar ditentukan sebagai variabel endogen, yaitu jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Di sini berarti bertumbuhnya sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riel. Dan bila terjadi pemisahan, maka ekonomi dunia rawan krisis, khususnya negara-negara berkembang. Sebab, pelaku ekonomi menggunakan uang untuk spekulasi mata uang. Spekulasi inilah yang mengakibatkan uang berfluktuasi secara liar dan dapat menggoncang ekonomi berbagai negara, khususnya negara yang kondisi politiknya tidak stabil.
  2. Perbaikan manajemen risiko dan sikap yang kurang prudent dalam lembaga keuangan. Serta tidak mengabaikan unsur-unsur kualitatif dan kuantitatif dalam pengelolaan dana. Atau dengan kata lain, tidak boleh terlalu percaya pada reputasi atau mitos dari lembaga keuangan yang selama ini terkenal hebat dan "sakti".
  3. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan perlu mengeluarkan prudential regulation yang bijak dan menjalankannya untuk melindungi industri dari risiko yang timbul terutama yang dapat merugikan kepentingan umum.
  4. Perbaikan kembali mekanisme bunga (interest rate) yang rasional. Sebab apabila hal ini menggurita bersama sistem hutang. Akan membuat sistem perekonomian menderita ketidakseimbangan kronis. Sistem hutang dan bunga, hanya melayani kepentingan spekulator, kepentingan segelintir pelaku ekonomi, namun menguasai sebagian besar asset yang ada di dunia.

Tanggapan

Dalam menyingkapi kondisi sekarang ini, akan lebih baik jika elemen negara bersatu dan tetap tenang dalam mengambil solusi. Sebab bila kita menyingkapi dengan kepanikan dan emosi sesaat, terbukti imbas bagi negara Indonesia semakin buruk dengan makin merosotnya nilai tukar rupiah, yang menurut analis valas Bank Himpunan Saudara, Rully Nova, dikarenakan banyaknya pelaku pasar yang lebih senang memegang dollar AS ketimbang rupiah.

Sepintas keuntungan investasi dalam bentuk dollar sangat menjanjikan, tapi sampai kapan? sebuah Koran The Pheladelphia Inquirer, yang terbit 30/9/2008, dalam sebuah artikelnya berjudul: “US Crisis Puts Global Standing in Peril”, menyebutkan krisis keuangan yang dialami Amerika sekarang ini, sangat memungkinkan bila posisi Amerika sebagai negara adidaya akan terancam punah, mengikuti jejak Soviet. Bahkan, beberapa negara sudah mulai meninggalkan dollar, seperti Amerika Latin, Timur Tengah, Uni Eropa, dan beberapa Negara Asia. Penekanan seperti ini seharusnya dapat diambil sebagai salah satu strategi bagi pemerintah untuk menenangkan pasar, agar tidak lari ke dollar.

Secara umum pemerintah Indonesia sudah cukup tanggap dalam merespon perkembangan krisis ekonomi ini, terbukti dengan adanya kordinasi melalui sidang kabinet dan mengundang para pelaku usaha sektor riel dalam mengambil langkah kebijakan. Ini sangat penting untuk menumbuhkan optimisme masyarakat dalam menghadapi ketidakpastian ke depan.

Walaupun hubungan krisis keuangan Amerika bakal menjalar ke berbagai belahan dunia, kenyataannya ada juga yang tidak terimbas, seperti Australia, Brazil dan Rusia. Mereka adalah negara-negara yang ekonominya berdasarkan sumber daya alam (natural resource base). Brazil dengan perkebunannya, seperti kopi dan gula. Australia dengan peternakan dan pertambangannya. Sedangkan Rusia dengan minyak dan gas buminya.

Sebenarnya Indonesia juga punya kekuatan dari potensi sumber daya alamnya, seperti negara-negara tersebut. Pemerintah harus menelaah dengan benar, sehingga sumber daya alam itu bisa jadi tulang punggung negara nanti kedepannya. Misalnya saja pemerintah dengan kebijakannya memodifikasi sedemikian rupa agar sumber daya alam tidak diekspor berupa bahan baku. Bila daerah sumber daya alam dipaksa untuk menghasilkan barang jadi, bukan hanya bahan baku. Akibatnya industri akan banyak menyerap tenaga kerja yang berarti mengurangi pengangguran.

(Dengan pemikiran sederhana kami) sebenarnya krisis keuangan yang terjadi sekarang ini tidak begitu berdampak bagi Indonesia. Dengan alasan, penyebab utama krisis di sektor moneter (keuangan) atau terjadinya di bursa efek bukan di sektor riel (barang dan jasa). Sangat masuk akal, bila negara-negara maju dengan cepat terkena imbasnya, ini disebabkan hampir seluruh perusahaan di negara itu bermain di dalamnya ( sudah go public). Sedangkan di Indonesia, perusahaan yang sudah go public masih minim (perusahaan besar atau kecil). Ini berarti jantung kehidupan negara Indonesia masih berada di sektor riel, apabila sektor keuangan bermasalah, imbasnya tidak sampai mematikan perekonomian Indonesia. Apalagi seperti sudah disebut di atas bahwa Indonesia mempunyai kekuatan sumber daya alam yang masih dibutuhkan dunia. Mau tidak mau, mereka akan mengimpor dari Indonesia. Sekarang tinggal bagimana kita memaksimalkan kekuatan itu.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top