Berawal dari dua kerajaan kecil, Mahkota Alam dan Darul Kamal, lahirlah Kesultanan Aceh Darussalam. Adalah Ali Mughayat Syah (1514-1530) yang mempersatukan kedua kerajaan tersebut menjadi sebuah kesultanan, Ali Mughayat Syah sendiri kemudian menjadi sultan pertama di Kesultanan Aceh Darussalam.
peninggalan kerajaan aceh darussalam,raja raja kerajaan aceh,kesultanan demak,makalah kerajaan aceh darussalam,sejarah kerajaan aceh lengkap
Setelah menjadi sultan, Mughayat Syah membangun Banda Aceh Darussalam sebagai ibu kota. Tujuh tahun kemudian, 1521, wilayah kekuasaannya diperluas hingga Pidie. Dan pada 1525, ia memperluas lagi wilayah kekuasaannya ke Pasai, Aru, Perlak, Tamiang, dan Lamuri.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Potugis, Banda Aceh mulai ramai didatangi para saudagar Muslim. Bahkan juga saudagar asing dari Gujarat, Arab, Persia, Turki, dan Cina. Banda Aceh tumbuh menjadi daerah maritim yang sangat strategis dan memberi keuntungan yang tinggi bagi Kesultanan Aceh. Melihat posisinya yang strategis itulah Portugis mulai berkeinginan menguasainya.
Pada tahun 1521, pasukan Portugis yang dipimpin oleh Jorge D. Brito menyerang Kesultanan Aceh dan Samudera Pasai. Namun, mereka berhasil dipukul mundur oleh Sultan Ali Mughayat Syah.
Setelah 16 tahun memerintah, Ali Mughayat Syah wafat. Posisi sultan digantikan oleh anak tertuanya, Sultan Salahuddin (1530-1538).
Tak seperti ayahnya, Salahuddin tak mampu melakukan perlawanan kepada Portugis di Malaka. Bahkan sebaliknya, ia bersikap lunak. Akibatnya, para misionaris Portugis leluasa masuk ke daerah pantai timur Sumatera dan Batak.
Salahuddin kemudian digantikan oleh adiknya, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar (1538-1571), yang dijuluki “sang penakluk”. Ia dikenal cerdik dan berbakat. Ia menjalin hubungan dengan banyak negara luar seperti Turki, Cambay, dan Malabar. Dari negara-negara inilah Aceh memperoleh bantuan militer dan persenjataan guna menghadapi Portugis.
keruntuhan kerajaan aceh,masa kejayaan kerajaan aceh,kehidupan politik kerajaan aceh,aceh darussalam,bidang ekonomi pada masa kerajaan islam
Bahkan, karena hubungan diplomatiknya yang begitu baik dengan Turki, yang dijalin sejak tahun 1562, Aceh memperoleh bantuan meriam.
Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Qahhar meninggal pada tahun 1571 dan digantikan oleh Sultan Zainal Abidin (1571-1579). Sejak saat itu, pamor kesultanan Aceh mulai menurun. Kesultanan dilanda krisis ekonomi yang hebat akibat perebutan kekuasaan. Sultan Zainal Abidin meninggal akibat kemelut ini pada tahun 1579.
Pada tahun 1589, Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid al-Mukammil naik tahta. Sejak itu kondisi politik mulai membaik. Lalu, berturut-turut, Kesultanan Aceh diperntah oleh Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607) dan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Masa Kejayaan Kesultanan Aceh
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Kesultanan Aceh mencapai masa kejayaan. Jumlah personil angkatan darat mencapai 40.000 orang. Demikian juga jumlah personil angkatan laut, cukup banyak.
Sejak tahun 1612 hingga 1621 Aceh berhasil menaklukkan Johor, Pahang, Kedah, Tuah, dan Deli. Meski ekspedisi militernya ke Malaka pada tahun 1629 tidak berhasil mengusir Portugis, tetapi langkah penaklukan yang dilakukan Iskandar Muda merupakan kisah kepahlawanan yang dinilai sangat mengesankan.
Selain bidang politik dan militer, Aceh juga maju dalam hal ekonomi. Ini kerena Iskandar Muda menerapkan sistem monopoli perdagangan di wilayah pesisir Sumatera Utara hingga Indrapura. Bahkan Kesultanan Aceh juga berhasil menjadikan Pariaman sebagai bandar terpenting untuk perdagangan lada di daerah Sumatera Barat.
Pemerintahan Iskandar Muda juga dikenal dekat dengan kalangan ulama. Di antara para ulama itu ialah Syamsuddin as-Sumatrani, seorang sufi pengikut Hamzah Fansuri yang diperkirakan wafat pada 1604.
Perbaikan Sultan Iskandar Muda terhadap Islam juga dapat dilihat dari pembangunan sarana ibadah dan pendidikan. Masjid Baiturrahman (Meuseugit Raya) adalah salah satunya.
Baca juga:
biografi sultan iskandar muda,kerajaan islam di sumatera,kerajaan malaka,keturunan raja aceh,lokasi kerajaan aceh
Hukum Islam juga ditetapkan sebagai undang-undang. Mereka menyebutnya Adat Mahkota Alam. Diceritakan bahwa Iskandar Muda pernah menghukum anaknya, Meurah Popok, dengan hukuman rajam karena terbukti berzina dengan istri seorang perwira.
Sultan Iskandar Muda berkuasa selama 29 tahun (1607-1636). Kejayaan Aceh mulai surut setelah Iskandar Muda wafat pada tahun 1636. Pelanjut Iskandar Muda ialah menantunya sendiri, Sultan Iskandar Sani Alauddin Mughayat Syah yang berkuasa selama 5 tahun (1636-1641).
Sebetulnya, sejumlah kalangan tidak setuju dengan naiknya Iskandar Sani sebagai sultan. Soalnya, dia bukan orang Aceh. Dia berasal dari Pahang. Namun, karena pengangkatannya merupakan wasiat Iskandar Muda dengan tujuan memperkuat hubungan Aceh dengan daerah taklukannya di Semenanjung Malaka, maka naiknya Iskandar Sani sebagai Sultan tak tertolak.
Tidak banyak yang dilakukan Iskandar Sani selama masa pemerintahannya. Hanya saja seorang ulama dari Gujarat (Syekh Nuruddin ar-Raniri) pernah diminta oleh Sultan untuk menulis kitab Bustan as-Salatin, sebuah kitab ensiklopedi yang mengurai sejarah Islam, khususnya Aceh, dan ajaran serta filsafat Islam.
Setelah itu pemerintahan kesultanan Aceh berturut-turut dipegang oleh empat wanita, yaitu Sultanah Tajul Alam Syafiatuddin Syah (putri Iskandar Muda dan Janda Iskandar Sani (1641-1675)), Sultanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah (1675-1677), Sultanah Inayat Zakiatuddin Syah (1677-1688) dan terakhir Sultanah Kamalat Syah (1688-1699).
Ketika masa Sultanah Tajul Alam Syafiatuddin, ada seorang ulama besar kerajaan bernama Abdurrauf Singkel yang diminta Ratu menulis sebuah kitab berjudul Mir’ah at-Tullab fi Tahshiil Ma’rifah Ahkam asy-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab. Kitab ini merupakan pengantar ilmu fikih berdasarkan Madzhab Syafi’i.
Selain itu, Ratu juga mengirim kitab-kitab karya ulama Aceh dan al-Quran kepada raja Ternate, Tidore, dan Bacan di Maluku. Ia juga mengirim sejumlah guru dan mubalig ke berbagai pelosok.
Setelah itu, Kesultanan Aceh mengalami kemunduran. Penyebabnya antara lain, persaingan dan perebutan kekuasaan antar-keluarga kerajaan. Campur tangan Inggris dan Belanda semakin mempercepat kemunduran tersebut.
masa kejayaan islam,peninggalan kerajaan aceh,sumber sejarah kerajaan aceh
« Prev Post
Next Post »