Pengaruh Kebijakan Fiskal Terhadap Subjek Zakat
Para ulama fiqh sepakat bahwa zakat hanya diwajibkan kepada seorang Muslim dewasa yang waras, merdeka, dan memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dengan syarat-syarat tertentu pula (Qardhawi. 1997: 96). Menurut ulama Fiqh, zakat tidak diwajibkan kepada non-Muslim, karena zakat merupakan “anggota tubuh” Islam yang paling utama, dan karena itu orang kafir tidak mungkin diminta menunaikannya, serta bukan pula merupakan hutang yang harus dibayarnya setelah masuk Islam.
Hal ini tentu menimbulkan ketimpangan dalam masyarakat, karena warga negara Muslim diwajibkan membayar zakat, sementara warga negara non-Muslim tidak memikul kewajiban tersebut. Dalam konteks kebijakan fiskal negara, tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga negara dalam memberikan kewajiban kepada negara, termasuk dalam hal perpajakan.
Dengan demikian, jika zakat menjadi instrumen dalam kebijakan fiskal negara, maka sekat-sekat diskriminasi dalam hukum zakat hendaknya dapat diselesaikan, agar semua warga negara sama kedudukannya dalam memenuhi kewajibannya kepada negara.
Untuk menyelesaikan persoalan ini, sebagian ulama berpendapat bahwa warga non-Muslim dikenakan jizyah sebagai penyeimbang zakat yang dibayarkan oleh warga Muslim. Hal ini telah dipraktekkan pada masa-masa awal Islam, di mana warga non-Muslim (zimmi) diwajibkan membayar jizyah kepada negara sebagai imbalan atas jaminan perlindungan yang mereka terima. Namun, hal ini tentu tidak relevan lagi di masa sekarang karena semua warga negara memiliki kewajiban yang sama dalam suatu negara dan sudah jarang dikenal lagi istilah kafir zimmi dalam suatu negara berpenduduk Muslim.
Di samping itu, secara historis hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatab yang juga memungut zakat dari kaum Nasrani Bani Taghlib. Pada mulanya, Umar telah memutuskan untuk menarik jizyah dari mereka, tetapi mereka memprotesnya. Akhirnya, Umar memerintahkan untuk memungut zakat dengan melipatgandakan jumlah zakat yang harus mereka bayar (Qardhawi, 1997: 100-102). Lagi pula, mereka memang diperintahkan oleh agama mereka untuk berzakat, yaitu berbuat baik kepada orang-orang yang melarat. Dengan demikian, apabila mereka dibebani dengan zakat, maka sesungguhnya mereka hanya dibebani dengan sesuatu yang sejak mula sudah disyariatkan oleh agama mereka. Terlebih lagi, dalam pendistribusian dana zakat, Islam tidak mengenal adanya diskriminasi antara Muslim dan non-Muslim apabila sesuai dengan kriteria sasaran pendistribusian zakat.
Selain subyek zakat yang berupa individu (person), zakat juga dapat dikenakan kepada badan hukum (recht person) sebagaimana halnya pajak. Badan-badan hukum tersebut seperti perusahaan-perusahaan yang memiliki kekayaan baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Zakat yang dikenakan kepada badan-badan hukum tersebut diambil dari saham dan keuntungan perusahaan-perusahaan tersebut (Qardhawi, 1997: 490-497).
Pengaruh Kebijakan Fiskal Terhadap Objek Zakat
Al-Qur`an tidak memberikan ketegasan tentang kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya dan syarat-syarat yang mesti dipenuhi, serta tidak merinci berapa besar yang harus dizakatkan. Persoalan itu diserahkan kepada sunnah Nabi yang menafsirkan tuntutan Al-Qur`an yang masih umum, menerangkan yang masih samar, memperkhusus yang masih terlalu umum, memberi contoh konkrit pelaksananaanya, dan membuat prinsip-prinsip aktual dan bisa diterapkan dalam kehidupan manusia.
Berkaitan dengan obyek yang dikenakan zakat, Rasulullah Saw menetapkan bahwa zakat dikenakan atas jiwa dan semua jenis harta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat di mana zakat ditetapkan. Zakat atas jiwa disebut zakat fitrah, sedang zakat atas kekayaan dikenal dengan zakat māl.
Memang terdapat beberapa jenis kekayaan yang disebutkan dan diperingatkan dalam Al-Qur`an untuk dikeluarkan zakatnya yaitu emas dan perak (Q.S. 9:34), tanaman dan buah-buahan (Q.S. 6:141), hasil usaha (Q.S. 2:276) Barang-barang tambang yang dikeluarkan dari perut bumi (Q.S. 6:141).
Selain jenis kekayaan yang disebutkan tersebut, Al-Qur`an hanya merumuskan apa yang wajib dizakatkan dengan rumusan yang sangat umum yaitu dengan kata “kekayaan” (amwāl) (Q.S. 9:103; 4:52). Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang makna “kekayaan” tersebut. Menurut mazhab Hanafi, kekayaan adalah segala sesuatu yang dapat dipunyai dan bisa diambil manfaatnya menurut kebiasaan. Sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara konkrit adalah kekayaan, seperti tanah, binatang ternak, barang-barang perlengkapan, dan uang.
Konsekuensi dari definisi ini adalah bahwa kekayaan berarti hanya yang berwujud benda sehingga dapat dipegang dan dipunyai. Akibat lebih lanjut ialah bahwa manfaat dari benda yang konkrit itu, seperti penempatan rumah, jasa transportasi, sewa pakaian, tidak termasuk kekayaan (Qardhawi, 1997: 123-124).
Menurut mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali, manfaat-manfaat itu termasuk kekayaan. Menurut mereka yang penting bukanlah dapat dipunyai sendiri tetapi dipunyai dengan menguasai sumbernya, karena seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tidak membatasi orang lain untuk menggunakan mobil tersebut. Pendapat ini dipegang oleh para ahli hukum positif. Bagi mereka, manfaat-manfaat itu adalah kekayaan. Demikian juga halnya dengan hak-hak, seperti hak pengarang, hak paten, dan sebagainya. Oleh karena itu, kekayaan menurut mereka lebih luas daripada kekayaan menurut ahli-ahli fiqh.
Seharusnya obyek zakat juga mencakup kekayaan dalam bentuk manfaat sebagaimana yang dipahami oleh para ahli hukum positif. Karena terkadang kekayaan dalam bentuk ini justru sangat besar dan cara memperolehnya juga lebih mudah seperti hak cipta dan hak paten yang pendapatannya terus mengalir.
Sesuai dengan konteks perekonomian masyarakat pada masa Nabi Muhammad SAW, jenis harta yang dikenakan zakat meliputi: hasil pertanian dan perkebunan; hasil peternakan; harta niaga; uang; hasil tambang dan; harta temuan atau lebih dikenal dengan rikāz. Jenis harta ini kemudian dirinci lagi untuk menentukan jenis masing-masing yang dapat dikenakan zakat.
Untuk konteks kehidupan perekonomian sekarang yang lebih banyak bertumpu pada sektor industri dan jasa ketimbang pada olah pertanian dan peternakan yang tradisional, banyak jenis kekayaan dan rinciannya yang sangat menonjol dan bahkan menjadi alat kesombongan kelas, akan tetapi dalam aturan fiqh belum banyak disinggung. Misalnya dalam hal jenis kekayaan sebagai ketentuan sekunder, tidak terdapat kendaraan dan rumah mewah. Dalam rinciannya, kategori harta perniagaan masih terbatas pada jual beli barang, belum mencakup jual beli jasa keahlian atau profesi. Kategori ternak belum memasukkan misalnya ternak unggas dan ikan air tawar. Alat pembayaran (mata uang) pun masih terbatas pada uang emas dan perak. Demikian pula dalam kategori barang tambang (ma’adin) belum memasukkan minyak bumi, timah, permata, dan sebagainya. Persoalannya sederhana, karena jenis dan atau rincian kekayaan-kekayaan itu pada masyarakat Nabi Muhammad Saw 14 abad yang lalu belum berkembang atau bahkan belum ada dalam kenyataan.
Tidak dicantumkannya jenis-jenis kekayaan seperti pada masa sekarang bukan berarti bahwa jenis kekayaan itu tidak terkena zakat karena tidak ada referensinya dalam hadis-hadis Nabi Muhammad Saw Apa yang telah dibakukan oleh para fuqaha pada masa lalu meskipun merupakan bahan masukan yang berharga seharusnya tidak menutup pintu ijtihad dalam menentukan jenis kekayaan yang wajib dikenakan zakat (Ali, 1988: 54).
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang membatasi obyek zakat antara lain adalah (Qardhawi, 1997: 435):
- Rasulullah SAW telah menentukan jenis-jenis kekayaan yang wajib dizakatkan, tetapi tidak memasukkan ke dalamnya harta benda yang dapat dieksploitasi atau disewakan seperti gedung, binatang, alat-alat dan lain-lain. Pada prinsipnya manusia bebas dari beban dan prinsip itu tidak bisa dilanggar begitu saja tanpa ada nash yang benar dari Allah dan Rasul-Nya.
- Hal itu didukung oleh kenyataan bahwa para ulama fiqh dalam berbagai masa dan asal tidak pernah mengatakan bahwa hal itu wajib zakat.
- Bahkan mereka mengatakan bahwa jenis kekayaan tersebut tidak ada zakatnya.
Alasan yang dikemukakan ini tidak tepat karena Allah telah menegaskan bahwa dalam kekayaan apa pun terdapat kewajiban tertentu yang bernama zakat atau shadaqah. Alasan wajib zakat atas suatu kekayaan adalah logis, yaitu bertumbuh, sesuai dengan pendapat ulama-ulama fiqh yang melakukan pengkajian dan penganalogian atas hukum. Di samping itu, maksud syariat zakat adalah pembersihan dan penyucian pemilikan kekayaan, penyantunan terhadap fakir miskin, dan keikutsertaan membela kepentingan umum. Oleh karena itu, sudah sepantasnya zakat dipungut dari berbagai jenis kekayaan dan tidak terbatas pada apa yang telah dicanangkan oleh Rasulullah SAW empat belas abad silam (Ash Shiddieqy, 1999: 71-72).
Dengan pemahaman seperti, zakat dapat dipungut dari berbagai bentuk kekayaan yang diperoleh dari berbagai jenis usaha yang berkembang pada zaman modern sekarang ini seperti, zakat investasi pabrik, gedung, zakat profesi, dan zakat saham dan obligasi. Dengan demikian, obyek zakat dapat mencakup semua jenis kekayaan baik yang dipunyai perorangan (person) atau badan hukum (recht person).
« Prev Post
Next Post »