Alexandria (Iskandariyah) adalah Bandar utama Mesir yang menghadap ke Laut Mediteranean yang juga dikenal dengan pengantin dari laut tengah. Strabo, ahli geografi abad pertama masehi, menyebut Alexandria dengan The greatest emporium of the inhabited world.
Kota tersebut menjadi sangat terkenal setelah dibangun kembali warisan perpustakaan kuno Bibliotheca Alexandria yang diresmikan pada 23 april 2002. Kata bibliotecha berasal dari bahasa Yunani Kuno yang berarti buku, yang ditujukan sejak jaman Hellenistic.
Alexander the great (Iskandar Zulkarnain) mulai membangun kota tersebut pada 331 SM. Setelah kematiannya, daerah kekuasaannya itu terbagi menjadi beberapa bagian. Ptolemy, salah satu jenderalnya terpilih menjadi penguasa Mesir dan mulai membangun kerajaan baru. Alexandria sebagai ibukota negara, pada tahun 200 SM, tumbuh menjadi metropolis yang sangat luas di dunia dan menjadi pusat intelektual.
Warisan Ptolemy, antara lain universitas, perpustakaan agung, bangunan peribadatan dan mercusuar yang pernah menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Selain itu stadion Yunani kuno yang menghubungkan langsung Alexandria dengan pulau Pharos yang kini dikenal sebagai ra’as al tin (kepala tanah).
Bangsa Mesir kuno telah mengenal pustaka jauh sebelum 3.200 SM. Dan, Athena mempunyai mega pustaka pada abad ke empat SM. Namun Bibliotheca Alexandria adalah yang terluas di antaranya.
Bibliotheca juga mencakup ruang penelitian yang disebut dengan Alexandria Museum atau mouseion. Kata tersebut mempunyai hubungan dengan kuil Musa. Oleh para ilmuwan Yunani dikaitkan dengan filsafat dan seni terhadap Musan dan pengetahuan.
Perpustakaan Kuno Alexandria
Perpustakaan Alexandria dibangun sebagai bagian dari museum pada 290 SM oleh Ptolemy I (Soter). Walaupun beberapa sumber mengatakan, pembangunan dimulai pada rezim putra mahkota Ptolemy II (philadelphus), namun pembangun sebenarnya adalah Demetrius Palereus, murid dan pengikut Aristotle, juga sebagai penasihat dari Ptolemy I (Soter).
Dialah yang menganjurkan Ptolemy I untuk membangun pusat penelitian agung yang mencakup pustaka universal. Usul tersebut sesuai dengan keinginan Ptolemy untuk mengubah Alexandria bukan hanya sebagai pusat kekuatan namun juga sebagai pusat ilmu dan kebudayaan. Demetrius-lah yang diberi kewenangan untuk melanjutkan ide tersebut setelah kematian Ptolemy I pada 283 SM.
Perpustakaan Alexandria berisi koleksi lebih dari 700 ribu gulungan buku dan papyrus. Sudah tradisi bahwa jika ada buku-buku baru yang dibawa kapal yang singgah di Alexandria maka akan diambil ke perpustakaan untuk di cetak ulang. Jadi, tak ada manuskrip di dunia yang tidak didapatkan di perpustakaan Alexandria.
Dokumen-dokumen tersebut disusun secara sistematis dengan bentuk buku sesuai yang mereka ketahui. Ilmuwan, filosof, dan orang-orang terkenal diundang untuk meramaikan universitas dan perpustakaan. Inilah, yang membuat Alexandria sebagai suar intelektual hingga waktu terbakarnya pada 48 SM oleh bangsa Romawi.
Hancurnya Perpustakaan Alexandria
Ketika dua wilayah yang masing-masing dikuasai oleh Cleopatra dan saudaranya Ptolemy XIII digabung terjadilah konflik berkepanjangan antar mereka. Julius Caesar yang berkedudukan di Alexandria suatu ketika hendak memisahkan konflik tersebut. Lalu, diundanglah dua orang yang saling bermusuhan ini ke Alexandria pada 48 SM.
Caesar kemudian terkesan memihak Cleopatra. Ia berada di sisi wanita itu saat perundingan, bahkan sempat menghadiahkan sebuah singgasana.
Tentu saja Ptolemy marah. Ia menuduh Caesar telah berkhianat. Ia pun memerintahkan pasukan untuk mengepung istana. Perang tak bisa dielakkan. Dalam sejarah, perang ini disebut Alexandrian war atau peperangan Alexandria.
Karena terdesak, Caesar meminta bantuan dari Roma. Namun tetap kalah jumlah dan tak mampu menghadang armada musuh yang telah menguasai bandar.
Untuk menghindari pertempuran laut, Caesar membakar 110 kapal armada Mesir di dalam galangan kapal. Api meluas ke kota sampai pada perpustakaan agung. Sejumlah 400 buku terbakar.
Namun, beberapa sarjana menyangkal fakta ini. Berdasarkan tulisan salah seorang pengawal Caesar, yang juga pengarang buku The Alexandrian War, bangunan dalam kota tak ada yang terbuat dari kayu. Jadi, tak ada yang terbakar.
Setelah kematian Caesar, pada 34 SM, Cleopatra bersekutu dengan Mark Anthony. Mereka merayakan kemenangan dengan menyerang lawannya, Octavius, di ruang olah raga Alexandria. Dalam perayaan itu Anthony memberikan Cleopatra perpustakaan baru dengan 200 ribu gulungan buku sebagai ganti rugi atas kerusakan perpustakaan yang asli.
Pada 270 SM, perpustakaan dan museum ini kembali hancur. Kehancuran ini akibat perang antara Zanobia, Ratu Palmyra (daerah koloni Romawi di Syria), yang mengklaim sebagai keturunan Cleopatra, dengan Kaisar Roma, Aurelian.
Dibangunnya Kembali Perpustakaan Alexandria
Keinginan pertama untuk menghidupkan kembali perpustakaan agung datang dari Universitas Alexandria. Mereka bermaksud membangun perpustakaan tersebut di dekat lokasi asalnya, yaitu pada pusat kota Alexandria sepanjang semenanjung silsilah.
Presiden Mesir, Housni Mubarak, saat itu mengadopsi rencana ini sebagai agenda nasional. Maka, dibentuklah sebuah organisasi pembangunan perpustakaan Alexandria pada 1988, dengan sponsor UNESCO.
Pada 25 juni 1990 Mubarak meletakkan batu pertama. Pembangunan kontruksi dimulai pada 1995 oleh tiga perusahaan; Arab Contractors (Mesir), Balfour Beatty (Inggris), Radio Trevi (Italia) dengan total biaya 176 juta dolar AS. Shoft Opening (pembukaan ringan) untuk umum dilakukan pada Oktober 2001 selama satu bulan. Baru pada April 2002 dilakukan peresmian.
Bangunan megah berbentuk silinder miring seperti CD berdiameter 160 meter ini di seting seakan berada di dalam sebuah kolam. Tinggi dari permukaan tanah 32 meter, sedangkan pada level bawah 12 meter. Perpustakaan ini berisi 11 lantai dengan total arean 85.405 meter kubik.
Komplek perpustakaan secara keseluruhan mencakup beberapa bagian, di antaranya; perpustakaan khusus untuk tuna netra dengan huruf brailed an pustaka kalangan muda, gedung pertemuan, planetarium, empat museum (ilmu pengetahuan, kaligrafi, manuskrip-manuskrip, dan arkeologi).
Kini perpustakaan Alexandria memiliki sekitar 8 juta buku, 400 majalah, 50 ribu manuskrip dan buku langka, 50 ribu peta audio-visual dengan multimedia, serta database komputer.
Pada tahun 2001 undang-undang memberikan kebebasan kepada pihak perpustakaan untuk berhubungan langsung dengan presiden. Bahkan, dewan perlindungan terdiri atas beberapa pemimpin negara, seperti Presiden Mesir, Presiden Perancis, Ratu Spanyol, dan Direktur Jenderal UNESCO.
« Prev Post
Next Post »