Ibnu Al-Haitham Ulama Optika Modern

6/08/2017

Pada paruh millennium pertama bangsa Barat mengalami keterpurukan peradaban. Banyak di antara mereka yang percaya pada dukun untuk mengobati berbagai macam penyakit. Sementara kaum Nasrani sibuk dengan gubahan sesat dan bisnis pengampunan dosanya.

Di saat yang sama, obor peradaban Islam menyala terang benderang. Saintis Muslim seperti Al Biruni, Al Khawarismi, Al Haitham dan lain-lain, tersohor sebagai alim ulama besar. Kejeniusan dan ketinggian akhlak mereka banyak dipelajari oleh orang-orang Barat. Sebelum akhirnya, obor peradaban itu berpindah ke tangan kaum Barat, akibat keteledoran generasi Muslim sendiri.

Ibnu Al-Haitham Ulama Optika Modern

Adalah Abu Ali Hasan Ibn Al-Haitham, ilmuwan zaman keemasan Mesopotamia, ahli fisika pencetus teori optik pertama dunia, lahir pada masa itu. Ia yang pertama kali mengenalkan syaraf optik mata manusia. Tak heran jika kemudian dunia menobatkannya sebagai “bapak optika modern”. Ia juga tak cuma ahli di bidang fisika, namun juga ahli astronomi, matematika, dan kedokteran.

Haitham yang tersohor dengan sebutan Al Hazen di Eropa (dari Ali Hasan) lahir pada tahun 965 di kota Basra, Irak. Pada masa kecil ia sekolah di Basra dan Baghdad. Sementara pendidikan agama ia terima dari keluarga. Pendidikan agama ini pula yang kelak mengantar Haitham sebagai saintis yang religius.

Sebelum merantau ke Mesir, Haitham sempat diangkat sebagai menteri di negaranya, membawahi beberapa wilayah. Namun, ia tak puas dengan semua itu. Pada mada pemerintahan khalifah Abasiyah, merantaulah ia ke Mesir untuk memperluas ilmu dan pengalaman.

Di Mesir, Haitham mendapat tugas dari khalifah untuk mempelajari cara mengendalikan banjir dari sungai Nil. Namun ia tak berhasil. Kegagalan ini membuat ia memutuskan pergi ke Spanyol. Di daerah yang dulu dikenal dengan Andalusia itu ia banyak belajar agama kepada alim ulama.

Haitham lalu sadar betapa banyak pemikiran sesat yang terpelihara di kalangan masyarakat Mesir saat itu. Misalnya, kaum awam masih percaya bahwa langit meyimpan daya magis luas biasa. Fenomena langit diterjemahkan sebagai pekabaran para dewa. Gambaran salah dalam memandang langit membuat mereka terkadang tercekam kecemasan, atau sebaliknya, kebanggaan luar biasa karena mitos tertentu.

Sebagai alim ulama, apalagi pernah merasa gagal mengemban tugas khalifah saat di Mesir. Haitham ingin sekali meluruskan pandangan yang keliru itu. Ia lalu menghabiskan hari-harinya dengan meneliti luar angkasa. Ia mampu melukiskan garak planet-planet dalam suatu model non-Ptolemeus, sebuah temuan yang memberi pengaruh besar terhadap terhadap dunia astronomi Eropa hingga masa Kepler.

Menurut catatan sejarawan Barat, Paul Lende, istilah-istilah perbintangan dunia sampai sekarang masih bertahan dengan nama-nama yang diberikan astronom Muslim, termasuk Haitham. Seperti acrob (dari aqrab: kalajengking), altair (dari altair: penerbang), deneb (dari dhanb: ekor), pherkard (dari farqad: calf) dan kata-kata semacam zenith, nadir, azimuth; semuanya tak lepas dari kontribusi astronom Muslim.

Haitham bisa membuktikan bahwa langit menjadi pusat ilmu saintis, bukan pusat malapetaka dengan berbagai mitos perdukunan. Kesalahan pemikiran ini sedikit demi sedikit bisa diluruskan, kendati penerus Muslim tak banyak memanfaatkan temuan ilmiahnya untuk dielaborasi lebih lanjut. Hingga seratus tahun kemudian muncul Copernicus, memanfaatkan apa yang telah ditemukan Haitham. Copernicus kemudian dinobatkan sebagai astronom andalan dunia.

Selain bidang astronomi Haitham banyak melakukan eksperimen tentang disperse cahaya ke dalam urutan warna. Hasil eksperimen ini kemudian dikenal sebagai hukum refraksi warna. Ia juga meneliti fenomena bayangan, gerhana matahari, pelangi, dan cahaya. Semua itu diabadikan dalam buku al Manadhir.

Saat Hitham meneliti segmen sfera (gelas yang diisi air), ia hampir saja berhasil menemukan teori lensa pembesar. Tiga abad kemudian apa yang dilakukan Haitham ini diulang kembali oleh ilmuwan Italia. Begitu juga dengan konsep sinus dalam matematika, diambil alih oleh Snell dan Descartes. Lagi-lagi, generasi Muslim tak mampu meneruskan karya pendahulunya.

Di bidang anatomi tubuh manusia, Haitham adalah ilmuwan pertama yang berhasil menggambarkan bagian mata secara akurat. Ia juga mampu menerangkan bagaimana proses melihat pada manusia, sekaligus apa yang dimaksud penglihatan binokuler.

Dari hasil risetnya, Haitham mengoreksi teori penglihatan Ptolemy dan Euclid. Kedua ilmuwan itu sebelumnya berpendapat bahwa sebuah obyek bisa terlihat oleh mata karena pengaruh cahaya yang keluar dari mata. Sementara Haitham sendiri mengatakan, cahaya berasal dari obyek yang dilihat, buka dari mata.

Beberapa riset Haitham telah disusun dalam kitab Al Manadhir. Kitab tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan memberi sumbangan besar terhadap ilmu pengetahuan barat. Roger Bacon dan Kepler pada abad ke 13 juga memanfaatkan teori dalam buku tersebut.

Dalam bukunya Mizan al Hikmah, Haitham membahas kepadatan atmosfer dihubungkan dengan ketinggiannya dan refraksinya. Ia menemukan bahwa senja terjadi ketika matahari berada pada 19 derajat di bawah horizon.

Di bidang matematika, Hitham telah mengembangkan geometri analitik dengan penekanan pada kaitan antara aljabar dan geometri. Haitham punya teori tentang mekanika benda. Katanya, suatu benda akan terus bergerak secara sempurna hingga ada gaya lain yang menghentikan atau mengubahnya. Teori ini hampir mirip dengan teori hukum Newton.

Sedikitnya ada 200 buku yang dibuat Hitham. Namun, hanya sedikit yang tetap utuh sampai sekatang. Salah satunya karya monumental tentang optik yang berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Buku lainnya, seperti bahasan tentang Kosmologi, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Yahudi.

Haitham-lah ilmuwan pertama yang menerapkan metoda ilmiah dalam setiap penelitiannya. Langkah-langkah yang ia lakukan antara lain mengamati fenomena alam, membuat hipotesis, lalu melakukan verifikasi. Ia tidak sekadar menebak-nebak.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top