Imam Syafi’i Sang Pengembara Intelektual

5/30/2017

Menurut satu riwayat, pada suatu malam, seorang ibu bermimpi melihat bintang keluar dari perutnya. Bintang itu melambung tinggi ke udara. Beberapa bagiannya jatuh kembali mengenai suatu negeri dan menyinarinya.

Setelah bangun dari tidur, ibu itu terperanjat. Ia pun bertanya pada penta’bir mimpi, apa gerangan arti dari “bunga tidur”nya? Ternyata, kata penta’bir itu, sang ibu kelak akan melahirkan seorang anak laki-laki yang pengetahuannya memenuhi muka bumi. Anak laki-laki itu ada Imam Syafi’i.

Imam Syafi’i Sang Pengembara Intelektual

Syafi’i lahir pada tahun 150 H (767 M) di kota Gaza, Palestina, pada bulan Rajab. Banyak pula riwayat yang menyatakan dia lahir di Asqalan dan Yaman.

Sejak usia dua tahun, Syafi’i kecil telah kehilangan seorang ayah. Dalam sebuah riwayat, Syafi’i berkata, “Aku hidup sebagai yatim dalam asuhan ibuku. Ia tak mampu membayar seorang guru untuk mengajariku. Tetapi guru itu ridha dan senang jika aku menjadi penggantinya. Maka, setelah aku menamatkan al-Qur’an, aku hadir di masjid dan berkumpul bersama para ulama untuk menghafal hadis atau masalah agama.”

“Sementara tempat tinggal kami terletak di jalan bukit al-Khaif. Aku menulis di atas tulang. Setelah banyak tulang-tulang yang berisi tulisan, aku masukan ke dalam sebuah bejana besar.”

Fatimah sang ibunda sebenarnya masih cucu Ali bin Abi Thalib. Setelah suaminya meninggal, Fatimah membawa Syafi’i ke tanah suci Mekkah. Ia ingin menjauhkan anaknya dari suasana keterasingan akibat ditinggal pergi sang ayah.

Hidup ibu dan anak ini tak bisa dibilang enak. Kondisi ekonomi mereka kembang kempis. Namun, Fatimah tak ingin melihat anaknya bodoh. Ia tetap membekali Syafi’i dengan pendidikan yang cukup meski tak memiliki biaya untuk itu. Beruntung, Syafi’i bertemu seorang guru yang terpesona melihat kecerdasannya. Ia pun mengangkat Syafi’i sebagai murid.

Pada usia tujuh tahun, Syafi’i sudah mampu menghafal al-Qur’an. Ini berkat ketekunannya yang luar biasa. Sampai-sampai, menurut sebuah riwayat, ia dapat mengkhatamkan al-Qur’an sebanya 50 kali dalam bulan Ramadhan.

Setelah menghafal al-Qur’an dan belajar hadits, Syafi’i dikirim ibunya ke sebuah dusun di tengah-tengah gurun berasama suku Hudzail, suku yang mashur karena kefasihan bahasa dan tradisi puitisnya. Ia bermukim selama 10 tahun. Waktu sebanyak itu ia manfaatkan untuk belajar sastra Arab sampai mahir dan banyak menghafal puisi-puisi karya Umru al Qais, Zuhaer, dan Zarir, di luar kepala.

Setelah puas mengenyam ilmu sastra, pada usia 20 tahun, Syafi’i kembali menekuni ilmu fikih dan hadits di Madinah. Di negeri itu, ia belajar kepada Imam Malik yang reputasinya telah tersebar luas. Sebelum berguru kepada Imam Malik, tepatnya saat usia 13 tahun, Syafi’i telah hafal beberapa kitab fikih.

Ketika Imam Malik meninggal dunia pada tahun 179 H, Syafi’i kembali lagi ke Mekkah untuk menengok ibunya. Saat itu Syafi’i sekitar umur 29 tahun. Tak lama setelah itu ia melanjutkan pengembaraan ke Yaman. Itu pun dilakukannya dengan susah payah. Sang ibu dengan rela menggadaikan rumahnya seharga 16 dinar guna membekali Syafi’i ke Yaman.

Di Yaman, Syafi’i belajar sambil bekerja kepada seorang pejabat. Sayangnya, di negeri ini ia dituduh sebagai pengikut ‘Alawiyya (salah satu kelompok Syi’ah). Saat itu, kelompok ‘Alawiyyin memang dikenal sebagai gerakan perlawanan (oposisi) yang menentang pemerintahan Abbasiyah. Harun al-Rasyid, khalifah Abbasiyah di era itu, memanggil Syafi’i guna menanyakan keterlibatannya. Untunglah Syafi’i bisa membuktikan ihwal dirinya. Khalifah mempercayainya. Apalagi setelah diperkuat oleh kesaksian Muhammad bin Hasan, murid Abu Hanifah yang duduk di samping Khalifah al Rasyid.

Bermula dari sinilah, Syafi’i berguru kepada Muhammad bin Hasan as-Syaibani. Setelah memperoleh ilmu dari ulama Irak ini, Syafi’i kembali ke Mekkah untuk menyebarkan pengetahuan yang dimilikinya. Di Mekkah, ia mengawali karirnya sebagai guru di Masjidil Haram, tempat dulu ia menimba ilmu dari para ulama.

Hampir Sembilan tahun Syafi’i menetap di Mekkah. Tak aneh bila pada musim haji, ribuan orang dari penjuru dunia yang datang ke Mekkah berduyun-duyun mendatangi pemuda Quraisy yang ilmunya mengagumkan itu. Para tamu Allah ini bersemangat mengikuti pengajian-pengajian yang dibawakan Syafi’i. sehingga semakin terkenallah dia di berbagai pelosok negeri. Dan, melalui halaqah-halaqah pengajian itulah awal madzhab Syafi’i mulai berkembang.

Imam Syafi’i meninggal di Fustat (Kairo) pada tahun 204 H (820 M) di masa pemerintahan Khalifah al-Makmun dengan meninggalkan beberapa karya yang terus hidup hinggap kini. Di antaranya, kitab ar-Risalah yang dikarang sewaktu Syafi’i berada di Mekkah, al-Hujjah ketika beliau masih bermukim di Baghdad, dan al-Umm di saat dia hijrah ke Mesir, serta buku-buku lainnya.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top