Zakat dan Relevansi Pengelolaannya oleh Negara

Dalam Islam, altruisme merupakan salah satu alasan bagi perilaku kedermawanan. Dalam surat Al-Hasyar (59) ayat 9 Allah memuji perilaku kaum Anshar yang lebih menyantuni kaum Muhajirin meskipun kesulitan yang mereka hadapi tidak jauh berbeda.

Dalam perilaku filantropinya (giving behavior), seorang Muslim mempunyai pilihan dalam mencapai kepuasaannya (utility function). Kalau ia sudah merasa puas dengan berderma kepada seorang peminta-minta, menyumbang korban bencana alam, memberi santunan bulanan kepada beberapa anak yatim, atau bentuk-bentuk charity lainnya, maka berarti kurva kepuasaannya sudah mencapai titik maksimum dengan berinfak secara pribadi dan langsung (direct giving) tersebut.

pengertian zakat

Namun, apabila ia tidak cukup puas dengan pola berderma seperti itu karena melihat kesejahteraan kelompok masyarakat miskin yang tidak meningkat, maka mungkin saja pola pengumpulan dan penyaluran zakat perlu dilakukan oleh negara (indirect giving) agar lebih terorganisir dan mengcover masyarakat yang lebih luas.

Alasan Mengapa Negara Perlu Campur Tangan Dalam Pengelolaan Zakat.

Pertama, zakat bukanlah bentuk charity biasa atau bentuk kedermawanan sebagaimana infak, wakaf, dan hibah. Zakat hukumnya wajib (imperatif) sementara charity atau donasi hukumnya mandub (sunnah). Pemungutan zakat dapat dipaksakan berdasarkan firman Allah dalam surat al-Tawbah (9) ayat 103. Satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu dalam sistem demokrasi adalah negara lewat perangkat pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak. Apabila hal ini disepakati, maka zakat akan menjadi salah satu sumber penerimaan negara.

Kedua, potensi zakat yang dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Menurut sebuah sumber, potensi zakat di Indonesia mencapai hampir 20 triliun per tahun. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005 mengungkapkan, jumlah potensi filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp 19,3 triliun. Di antara potensi tersebut, Rp 5,1 triliun berbentuk barang dan Rp 14,2 triliun berbentuk uang. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1 triliun. Salah satu temuan menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70 persen) adalah masjid-masjid. Badan Amil Zakat (BAZ) pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal, serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta hanya 4 persen zakat maal.

Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat masih jauh dari potensi yang sebenarnya. Sebagai perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga-lembaga pengumpul zakat baru mencapai beberapa puluh milyar. Itu pun bercampur dengan infak, hibah, dan wakaf. Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui departemen teknis pelaksana.

Ketiga, zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dana zakat yang sangat besar sebenarnya cukup berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara terprogram dalam rencana pembangunan nasional. Dalam periode tertentu, suatu negara membuat rencana pembangunan di berbagai bidang sekaligus perencanaan anggarannya. Potensi zakat yang cukup besar dan sasaran distribusi zakat yang jelas seharusnya dapat sejalan dengan rencana pembangunan nasional tersebut.

Keempat, agar dana zakat dapat disalurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga mencapai tujuan zakat itu sendiri seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pengumpulan dan pendistribusian zakat yang terpisah-pisah, baik disalurkan sendiri maupun melalui berbagai charity membuat misi zakat agak tersendat. Harus diakui bahwa berbagai lembaga charity telah berbuat banyak dalam pengumpulan dan pendistribusian dana zakat dan telah banyak hasil yang dapat dipetik. Namun, hasil itu dapat ditingkatkan kalau pengumpulan dan pengelolaannya itu dilakukan oleh negara melalui perangkat-perangkatnya.

Kelima, memberikan kontrol kepada pengelola negara. Salah satu penyakit yang masih menggerogoti keuangan Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya adalah korupsi atau penyalahgunaan keuangan negara. Padahal, sebagian besar pengelola negara ini mengaku beragama Islam. Penyalahgunaan ini antara lain disebabkan oleh lemahnya iman menghadapi godaan untuk korupsi. Masuknya dana zakat ke dalam perbendaharaan negara diharapkan akan menyadarkan mereka bahwa di antara uang yang dikorupsi itu terdapat dana zakat yang tidak sepantasnya dikorupsi juga. Petugas zakat juga tidak mudah disuap dan wajib zakat juga tidak akan main-main dalam menghitung zakatnya serta tidak akan melakukan ‘tawar-menawar’ dengan petugas zakat sebagaimana sering ditemui dalam kasus pemungutan pajak.

Banyak lagi alasan mengapa zakat perlu dikembalikan ke dalam sistem fiskal negara. Meskipun demikian, ada beberapa pertanyaan atau keberatan terhadap agenda ini. Hal ini antara lain dikarenakan sudah terlalu lamanya zakat terpisah dari sistem negara dan menjadi urusan masing-masing pribadi Muslim. Mengembalikannya ke dalam sistem negara tentu bukan pekerjaan mudah. Akan banyak pihak yang keberatan dengan berbagai alasan yang dikemukakan. Mereka yang berpotensi menolak terutama berasal dari kelompok yang phobia dengan masuknya institusi-institusi keagamaan ke dalam sistem kenegaraan atau menolak turut campurnya negara dalam urusan keagamaan atau spiritualitas anggota masyarakat. Menurut mereka, zakat tidak dapat masuk dalam sistem fiskal negara karena hanya ekslusif untuk umat Islam dan kalau dipaksakan akan memicu disintegrasi bangsa. Alasan lainnya adalah bahwa negara ini bukan negara Islam dan institusi-institusi keislaman seperti zakat tidak dapat diadopsi dalam sistem kenegaraan.

Alasan lain barangkali adalah bahwa zakat seharusnya dikelola sendiri oleh kelompok-kelompok masyarakat. Campur tangan negara sudah terlalu banyak dan jangan diperbesar lagi. Zakat merupakan suatu potensi yang unik bagi pengembangan civil society dan menumbuhkembangkan kemandirian masyarakat itu sendiri.

Terlepas dari keberatan tersebut, faktanya zakat telah cukup memainkan peranan penting dalam redistribusi kekayaan di tengah masyarakat Muslim. Terlebih lagi, zakat pernah menjadi andalan dalam kebijakan fiskal masyarakat Muslim awal. Pertanyaannya sekarang, kalau zakat ingin dikembalikan pengelolaannya oleh negara dan diadopsi sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal, bagaimana halnya dengan hukum zakat itu sendiri? Adakah kebijakan fiskal membawa pengaruh terhadap aturan-aturan zakat? Pembahasan selanjutnya berkaitan dengan hal ini dilihat dari sisi subyek, obyek, sasaran, pendistribusian, dan tarif zakat.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top