Tarif zakat merupakan ketentuan zakat yang tidak diotak-atik oleh para fuqaha. Berbeda dengan subyek dan obyek zakat yang mengalami perkembangan dalam perinciannya sesuai dengan perkembangan ekonomi, tarif zakat dianggap sebagai ketentuan yang bersifat tetap dan berlaku sepanjang masa. Menurut para fuqaha, ketentuan tentang tarif zakat yang telah ditentukan oleh Rasulullah SAW. 14 abad silam tidak dapat diperbarui sesuai dengan perkembangan ekonomi karena akan menyebabkan pergeseran esensi zakat (Zaman, 1991: 63).
Menyangkut besar kecilnya tarif atau kadar zakat secara absolut yang harus dibayar oleh masyarakat, Rasulullah SAW. menetapkan bahwa hal itu ditentukan oleh berat ringannya tantangan keadilan dan kesejahteraan yang dihadapi. Nabi SAW. menetapkan tarif zakat antara 2,5% dan 10%. Ada satu jenis kekayaan yang dikenakan tarif tinggi karena untuk memperolehnya tidak diperlukan usaha dan kerja keras yaitu harta karun (rikaz) yang dikenakan 20% atau seperlima (khums). Hal ini berarti bahwa apabila tantangan keadilan dan kemaslahatan ditemukan lebih berat pada masyarakat yang lain, seperti dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini, tarif yang ditentukan Nabi Muhammad Saw tersebut tidak ada halangan untuk diperbesar. Kalau perlu sistem tarif pajak progresif bisa diterapkan (Rais, 1987: 58-62).
Menurut Masdar Farid Mas’udi, ketentuan Rasulullah SAW. tentang tarif zakat bisa begitu rendah sebabnya lantaran tuntutan kemaslahatan umum yang harus ditanggung dengan dana zakat relatif masih sederhana, jauh dari tingkat kebutuhan masyarakat zaman sekarang. Waktu itu, di samping kebutuhan ekonomi masyarakat masih bersifat subsistem (sandang, pangan, dan papan dalam ukuran seadanya), belum ada kebutuhan untuk membangun, misalnya, jalan beraspal, jalan bebas hambatan, apalagi sistem komunikasi satelit yang mahal biaya pengadaan dan operasionalnya (Mas’udi, 1991: 139-140).
Baca juga:
Satu-satunya pengeluaran negara terbesar pada masa Rasulullah SAW. adalah untuk pembiayaan perang dan pertahanan dari serangan musuh. Meskipun demikian, adanya perasaan yang sama terhadap adanya ancaman dari luar menimbulkan musuh bersama (common enemy) dan pada gilirannya menimbulkan rasa solidaritas untuk melakukan mobilisasi kekuatan dan dana untuk perang. Dengan demikian, tanpa perlu mewajibkan zakat masyarakat telah terpanggil untuk menyumbangkan sebagian hartanya untuk keperluan perang.
Kesenjangan antara yang orang kaya dan miskin pada masa Rasulullah SAW. juga belum begitu terasa karena masyarakatnya hidup dalam budaya agraris. Dalam masyarakat agraris tradisional, kemiskinan yang terjadi adalah kemiskinan yang cenderung dirasakan bersama. Artinya tidak ada kelebihan yang mencolok antara yang kaya dengan yang miskin. Oleh sebab itu, dapat dimengerti apabila zakat yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW. masih dalam batas-batas yang sederhana. Konteks sosial ekonomi masyarakat Madinah memang belum memerlukan sistem tarif zakat yang progresif seperti dijumpai pada sebagian masyarakat negara industrialis pada masa sekarang.
Begitu pula halnya dengan tarif hasil pertanian yang harus dipahami berdasarkan latar belakang sosio-ekonomi penetapan tarif tersebut. Sebagaimana diketahui, tarif hasil pertanian berkisar antara 5% dan 10%, sementara harta perniagaan hanya sebesar 2,5%. Hal ini dilatarbelakangi oleh sumber mata pencaharian masyarakat Madinah ketika khitab zakat itu dicanangkan oleh Rasulullah Saw (kira-kira tahun ke-8 dan 9 hijrah) bertumpu pada sektor pertanian. Berbeda halnya dengan masyarakat Makkah yang bertumpu pada sektor perdagangan. Persoalan ketidakadilan sosial di Madinah pun berbeda dengan di Makkah. Di Madinah kesenjangan sosial terletak antara para pemilik tanah pertanian dan kelas buruh tani yang tidak mempunyai lahan pertanian. Sedangkan di Makkah, kesenjangan terjadi antara para pemilik modal (kapitalis-borjuis) dan kaum buruh (proletar). Oleh sebab itu, dapat dimengerti mengapa Rasulullah SAW. mengenakan tarif zakat hasil pertanian yang lebih tinggi (5% - 10 %) daripada tarif zakat harta perniagaan (2,5%). Bisa jadi, tarif yang berlaku adalah sebaliknya kalau saja Rasulullah Saw menetapkan ketentuan tarif tersebut di Makkah yang merupakan kota perdagangan, bukannya di Madinah yang agraris.
« Prev Post
Next Post »