Nama Banten sudah ada sejak abad 14. Kala itu bangsa Cina kerap menulis nama Banten sebagai rute pelayaran, terutama yang dilewati oleh Shung Peng Hsiang Sung yang pertama kali masuk Banten pada tahun 1430.
Mo Kun, pengembara Cina lainnya, juga pernah beberapa kali mampir ke Banten pada tahun 1421. Rute-rute yang pernah ia lewati kemudian ia kumpulkan. Misalnya, Tanjung Sekong-Gresik-Banten, Banten-Timor, Banten-Demak, Banten-Banjarmasin, atau Krueng (Aceh)-Pariaman-Banten.
Banten memiliki beberapa nama. Dalam buku Ying-Yai-Sheng-Lan, misalnya, Banten disebut Shunt’a. Kata ini belakangan berubah menjadi Sunda. Sedang Tome Pires, seorang pengembara dari Portugis yang datang ke Banten pada tahun 1512, sering menyebut Banten dengan nama Bautan.
Beberapa sumber lokal menyebut Banten dengan beberapa variasi. Dalam naskah Cerita Parahiyangan yang ditulis tahun 1580, Banten disebut Wahanten Girang. Selain itu, nama Banten sering disebut-sebut dalam 31 versi naskah Sadjarah Banten.
Lalu, sejak kapan sebenarnya Banten mulai disinggahi para pelayar dunia? Dalam laporan perjalanan yang dilakukan oleh Tome Pires, Banten digambarkan sebagai sebuah bandar yang ramai dan berada di kawasan Sunda sebelum berdirinya Kesultanan Banten, atau pada masa Kerajaan Sunda. Setidaknya dari kesaksian Tome Pires ini dapat kita jadikan petunjuk bahwa kota/pelabuhan Banten sudah berdiri sekurang-kurangnya pada abad ke-7.
Banten berada di jalur perdagangan internasional. Karena itu Banten menjadi salah satu tempat persinggahan para saudagar dari Barat maupun Timur.
Ketika Islam dibawa oleh pedagang Arab ke timur, Banten menjadi sasaran dakwah Islam. Menurut Tome Pires, pada tahun 1513 di Cimanuk, Serang, sudah dijumpai orang-orang Islam. Jadi, setidaknya pada abad ke-15, Islam sudah diperkenalkan pada masyarakat sekitar pelabuhan Banten yang saat itu milik Kerajaan Hindu Sunda. Bukti lain, ketika Sunan Ampel pertama kali datang ke Banten, ia mendapati orang Islam di sana, walaupun penguasanya masih beragama Hindu.
Proses Islamisasi di Banten diawali oleh Sunan Ampel, diteruskan oleh Syarif Hidayatullah (1448-1556) yang biasa dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Pada masa itu Islam semakin berkembang.
Dalam buku Banten dalam Pergumulan Sejarah yang ditulis Dr Nina Harsuna Lubis menyebutkan, pengaruh Islam kian mencuat ketika Syarif Hidayatullah menikah dengan adik Bupati Banten bernama Nyai Kawunganten. Pernikahan tersebut melahirkan dua anak, yaitu Ratu Wulung Ayu dan Hasanuddin. Inilah cikal bakal dimulainya kerajaan Islam di Banten.
Syarif Hidayatullah membangun istana, pasar, dan alun-alun dekat kuala Sungai Banten yang kemudian bernama Surosowan. Kelak istana ini dijadikan Hasanuddin sebagai pusat pemerintahan kesultanan Banten.
Saat Hasanuddin beranjak dewasa, Syarif Hidayatullah pergi ke Cirebon menjalankan tugas sebagai tumenggung. Tugas pengembangan Islam di Banten dialihkan kepada sang anak. Demi mengemban tugas ini Maulana Hasanuddin berkeliling dari satu daerah ke daerah lain. Kadang dia berada di Gunung Pulosari, Gunung Karang, Gunung Lor, bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Berkat dakwahnya, banyak penduduk yang tinggal di kawasan utara memeluk Islam.
Melihat persatnya perkembangan Islam, Kerajaan Padjajaran (Hindu) mulai gerah. Mereka mengeluarkan peraturan yang membatasi masuknya pedagang Islam ke Banten. Tak hanya itu, mereka juga membuat perjanjian dengan bangsa portugis untuk bersama-sama menghambat pertumbuhan Islam.
Tindakan ini tentu saja mengundang kemarahan penduduk Banten. Semakin lama kemarahan ini semakin memuncak. Akhirnya, tampillah Maulana Hasanuddin memimpin kaum Muslim Banten, para ulama dan jawara, memberontak kepada raja setempat. Perjuangan ini tak sia-sia. Mereka berhasil menguasai seluruh kadipaten Banten.
Pada tahun 1522 Banten berubah menjadi kesultanan sendiri. Hasanuddin diangkat menjadi Sultan Banten bergelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan. Ia memerintah hingga tahun 1570.
Banten Lama
Posisi Banten yang strategis terletak di tengah-tengah pesisir teluk yang lebarnya hingga 3 mil (sekitar 30 km), membuat daerah Banten tumbuh menjadi pelabuhan yang besar di tanah Jawa.
Panjang kota kerajaan Banten 850 depa (kira-kira 1.3 km). Sementara panjang sisi menghadap laut 400 depa (kira-kira 600 meter). Makin ke darat, makin memanjang.
Baca juga:
Di tengah-tengah kota mengalir sebuah sungai yang jernih, di mana kapal jenis gale dan jung bisa berlayar masuk. Dan, di sepanjang pinggiran kota ada sebuah anak sungai yang lebarnya tidak seberapa, namun perahu-perahu kecil masih bisa berlayar masuk. Di pinggiran kota ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari batu batu. Tebal dinding tersebut tujuh telapak tangan.
Banyak saudagar dari berbagai negara berniaga ke Banten. Ada yang berasal dari Inggris, Gujarat, Persia, dan ada pula yang dari Cina. Kejayaan pelabulan ini sempat menggeser populeran Sunda Kelapa.
Sayang, Belanda berhasil menghancurkan kesultanan ini setelah terjadi perpecahan diantara para pewarisnya. Belanda juga berhasil menyakinkan Sultan Haji untuk menyerahkan ayahnya, Sultan Agung Tirtayasa. Belanda pun akhirnya memindahkan pusat kota Banten ke kota Serang yang hingga saat ini masih berdiri.
Kini, reruntuhan sisa kejayaan keraton Kesultanan Banten telah berserakan. Hanya tinggal Masjid Agung yang masih berdiri setelah berulang kali mengalami renovai. Bangunan-bangunan lain di kawasan kerajaan pun nyaris rata dengan tanah.
« Prev Post
Next Post »