Mengenal Lebih Dekat Keraton Kasepuhan Cirebon

Keraton kasepuhan menjadi saksi penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di tanah Sunda. Sampai sekarang, masyarakat Cirebon masih menjadikan keraton ini sebagai pusat peribadatan.

Cirebon, kekayaan budayanya menyimpan ketinggian ritual dan filosofis. Daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah ini diyakini sebagai wilayah pusat awal penyebaran Islam di tanah Sunda dengan tokohnya Sunan Gunung Jati, salah satu wali dari Wali Songo.

Keraton Kasepuhan Cirebon

Kota Cirebon merupakan kota pantai yang terletak di ujung timur pantai utara Jawa Barat. Karena itu kota ini pernah menjadi lalu lintas perdagangan internasional. Daerah kekuasaan Cirebon saat itu meliputi Sungai Cipamali di sebelah timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah selatan, Pegunungan Komong di sebelah barat, dan Junti (Indramayu) di sebelah utara.

Dalam penyebaran Islam, Cirebon berhubungan erat dengan Demak, Banten, Tuban, Gresik. Syarif Hidayatullah, akrab dengan sebutan Sunan Gunung Jati, merupakan pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten.

Keraton Kasepuhan di kota Cirebon merupakan saksi penting pesatnya peradaban Islam di tanah Sunda. Sampai sekarang, masyarakat setempat masih menjadikan keraton ini sebagai pusat peribadatan. Kasepuhan, bangunan yang didirikan Sunan Gunung Jati banyak menyimpan pesan filosofis tinggi. Siratan pesan tersebut dimaksudkan untuk mengingatkan masyarakat dalam menjalankan syariah. Sayangnya, pesan yang turun-temurun diwariskan itu banyak dikaburkan maknanya. Akibatnya, budaya syirik merebak.

Kasepuhan identik dengan kesederhanaan. Struktur bangunannya tidak semewah keraton Jawa lainnya. bangunan depan yang hanya terdiri dari tumpukan bata membawa pesan seolah Kasepuhan tidak mempunyai keistimewaan. Sepintas, keraton seperti bangunan mati tak berpenghuni. Kesan tersebut sengaja diciptakan agar keraton terbebas dari incaran penjajah. Siasat tersebut rupanya tepat, keaslian keraton masih terjaga sampai sekarang. Istana dengan ornamen Cina masih berdiri megah di sudut dalam keraton yang memang tidak terlihat dari sisi luar.

Kasepuhan dilintasi oleh Sungai Sipadu. Pengunjung harus melewati jembatan di atasnya (Kreteg Pangrawit) sebelum memasuki area keraton. Kreteg artinya perasaan dan Pangrawit berarti kecil (lembut, halus). Jadi, siapa saja yang melintasi jembatan tersebut harus mempunyai maksud baik.

Pada pelataran depan keraton, selain gapura merah, berdiri bangunan dari bata merah berbentuk podium bernama Siti Inggil (berarti: Tanah Tinggi) yang dikelilingi tembok bata merah berupa candi. Di area Siti Inggil berdiri lima bangunan tanpa dinding beratap sirap (papan). Salah satu bangunannya, Mande Pandawa Lima bertiang lima, melambangkan rukun Islam yang berfungsi sebagai pengawal raja. Di sampingnya berdiri bangunan bertiang enam, melambangkan rukum iman, yang disebut Mande Jajar, tempat khusus raja. Bangunan lainnya berdiri dengan dua tiang melambangkan dua kalimat syahadat. Keseluruhan tiang pada bangunan Siti Inggil berjumlah 20 tiang. Melambangkan 20 sifat wajib Allah. Raja diharapkan mampunyai 20 sifat baik tersebut dalam menjalankan pemerintahannya.

Secara garis besar, bangunan keraton didominasi dengan dua warna, merah dan putih. Bagian depan keraton berwarna merah, terdiri dari bangunan bata merah. Merah merupakan symbol metode penyebaran agama kepada kaum awam dengan menggunakan kesenian, bahasa rakyat, dan alat kebudayaan lain dengan memasukkan nilai-nilai Islam. Sebagian bear bangunan lainnya berwarna putih. Merupakan symbol metode penyebaran agama ke kalangan intelektual. Putih berarti upaya peningkatan spiritual ke tingkat sufi.

Banguna dominasi putih mulai terlihat pada Langgar Agung (mushala). Sampai sekarang Langgar Agung masih digunakan untuk pelaksanaan upacara Bubur slabak pada 10 Muharram, Apem pada 15 Syafar, Mauludan, Ta’jilan Ramadhan, selamatan lebaran 1 Syawal, dan penyembelihan hewan kurban (Idul Adha) oleh pihak keraton.

Selain Langgar Agung terdapat juga Taman Bunderan Dewan Daru. Bunderan berarti bundar/sepakat, dewan berarti dewa, dan daru berarti cahaya. Taman tersebut menyiratkan pesan untuk menjadi “manusia yang senantiasa menerangi sesama”. Ya, hampir setiap sudut keraton tak lepas dari kandungan pesan dan hikmah.

Tradisi unik Cirebon masih semarak sampai kini. Sebagian tradisi Islam tersebut berpusat di Keraton Kasepuhan. Beberapa tradisi setempat yang bisa dirasakan sampai kini diantaranya; Adzan Wong Pitu dilaksanakan di Masjid Agung Cipta Rasa, masjid warisan Sunan Gunung Jati yang dibangun dibawah pengawasan Sunan Kalijaga. Ciri khas arsitektur Sunan Kalijaga adalah bangunan dari potongan sisa kayu atau sokotatal. Bangunan masjid yang berdekatan dengan Kasepuhan, salah satu tiang utamanya menggunakan sokotatal.

Adzan Wong Pitu berangkat dari tata etika kesopanan rakyat yang tidak boleh lebih tinggi dari raja. Oleh karenaya, Masjid Cipta Rasa tidak mempunyai menara, bangunannya tidak bertingkat. Agar adzan bisa terdengar oleh masyarakat, dikumandangkanlah adzan dengan tujuh orang. Kendati sekarang telah ada pengeras suara namun budaya Adzan Wong Pitu masih dijaga kelestariannya.

Tradisi lain yang diminati masyarakat Cirebon adalah Shalawat Nariyah. Sebuah kegiatan semacam tarekat, berisi puji-pujian terhadap Rasul dan dilaksanakan secara bergilir dari keraton (Kasepuhan, Kanoman, Kacerbonan dan Kaprabonan), ke berbagai masjid besar di Cirebon. Shalawar Nariyah dilaksanakan rutin seminggu sekali. Jamaah yang kini mencapai ribuan selalu mengalami peningkatan tiap pertemuannya. Hal tersebut dilatarbelakangi dengan adanya anggapan bahwa keikutsertaan Shalawat Nariyah yang berkesinambungan akan mendatangkan rahmat dari Allah SWT.

Setiap Maulud Nabi (Rabiul Awwal) keraton juga menggelar acara sekatenan. Tiap tahun acara ini dihadiri puluhan ribu pengunjung. Acara ini berupa pagelaran gamelan keraton yang bisa dilihat oleh masyarakat umum. Sekatenan, merupakan tontonan untuk tuntunan yang sebenarnya berasal dari syahadatain; Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul. Masyarakat yang melihat tontonan harus membaca syahadat sebagai syaratnya. Sekatenan diakhiri dengan gerebeg, upacara puncak dengan siratun nabi (pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW) dan sedekah sultan, yakni membagi-bagikan makanan hadiah dari sultan di Masjid Agung. Sekatenan, untuk Cirebon terkenal dengan sebutan Panjang Jimat. Panjang berarti tanpa batas, Jimat (siji kang dirumat) satu yang dijaga yaitu Islam. Jadi esensi dari mauludan adalah penjagaan agama Islam yang tanpa batas.

Banyak tradisi keagamaan setempat lainnya yang hingga kini masih banyak dijumpai dan ikut memberi warna kekayaan kebudayaan Indonesia.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top