Tak bisa dipungkiri, lebaran adalah saat yang paling dinanti masyarakat Muslim setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Peringatan 1 Syawal dengan segala keistimewaannya telah menjadi rutinitas setahun sekali yang harus dipersiapkan jauh-jauh hari oleh setiap keluarga. Ada yang membeli baju baru, mengecat dan membersihkan rumah, menyediakan menu istimewa, bahkan ada pula yang pulang kampung (mudik) bersama keluarga.
Bila semua ini dilakukan dengan cara yang bersahaja, hasilnya tentu akan baik. Namun, bila dilakukan dengan cara yang berlebihan, tidak sesuai dengan kemampuan keluarga, hasilnya akan buruk. Rasulullah SAW tidak pernah mencontohkan hal yang demikian itu. Rasullullah SAW selalu melewati hari lebaran dengan kesederhanaan, namun penuh suka cita. Demikian juga halnya dengan Idul Adha.
Dibanding hari-hari lain, dua hari raya ini mendapat perlakuan istimewa dari Rasul. Beliau bersabda, bahwa kedua hari itu adalah saat untuk makan dan minum bagi kaum Muslim. Artinya, kita diharamkan berpuasa.
Kesederhanaan yang dicontohkan Rasul tak lain karena Islam melarang umatnya berbuat sesuatu yang berlebih-lebihan. Baik dalam hal makan, minum, maupun berpakaian.
Akan tetapi, bila ada kemampuan, umat Islam dianjurkan membeli baju baru pada hari raya. Ada nash (hadis) yang mengatur hal itu.
Maksud kata “baru” lebih pada “baik” bukan mahal dan bagus. Sayangnya, umat Islam banyak yang salah menafsirkan maksud hadis itu. Mereka berlomba-lomba membeli baju yang mahal. Tujuannya untuk pamer kekayaan kepada para tetangga. Bahkan, masyarakat kurang mampu pun memaksakan diri ikut “berlomba” membeli baju-baju yang mahal.
Padahal, tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah melakukan takbir sepanjang malam. Apalagi berkeliling kota sambil berdesak-desakan. Walaupun ada ayat yang menyebutkan walitukkabirullaha (dan agungkanlah Asma Allah), akan tetapi ramai-ramai berkeliling kota bisa menghilangkan nilai ibadah itu sendiri.
Setelah shalat Ied usai, Rasul memberikat khutbah hari raya. Lalu, dengan bersahajanya, Rasul mengajak tetangga dan para sahabat menikmati hidangan dengan menu seadanya, namun lebih istimewa dibanding hari-hari biasa. Makanan khas yang disediakan Rasul adalah kurma manis.
Biasanya lagi, makanan-makanan ini tak hanya disantap, tetapi dibagi-bagikan kepada anak-anak. Ini berbeda dengan budaya masyarakat Indonesia yang suka membagi-bagikan uang recehan atau hadiah-hadian lain.
Memang, membagi-bagikan uang atau hadiah tak disalahkan pada hari raya, asalkan tidak berlebih-lebihan. Demikian juga dengan makan dan minum. Tidak boleh ada kata mubazdir saat persiapan lebaran.
Selain menyantap makanan bersama para tetangga dan sahabat, Rasul juga sering dikunjungi oleh para sahabat. Mereka bersilaturrahmi usai shalat Ied sambil mengucapkan “tahniah”. Lagi-lagi, hal ini agak berbeda dengan kebiasaan masyarakat kita yang saling memberi dan meminta maaf pada hari lebaran.
Rasul juga mengucapkan “kullu amin waantum bi khairin,” yang artinya, “semoga sepanjang tahun kalian dalam keadaan sehat selalu.” Ucapan ini selalu disampaikan Rasul setiap hari raya, baik Idul Fitri, Idul Adha, bahkan 1 Muharram (tahun baru hijriah).
Baca juga:
Bagaimana dengan ziarah kubur? Tidak ada riwayat yang menjelaskan agar kita dianjurkan berziarah kubur pada hari raya. Ziarah kubur bisa dilakukan kapan saja, tidak diistimewakan pada 1 Syawal.
Demikian juga dengan budaya mudik atau pulang kampung. Pada zaman Rasulullah, mudik saat lebaran tidak ada. Jadi, bila bepergian pada saat lebaran, jangan terlalu dipaksakan. Apalagi menghabiskan dana yang besar, atau memaksakan diri dengan cara berdesak-desakan di dalam bis atau kereta. Kecuali bila memang ada keperluan yang mendesak.
Satu hal lagi yang sering kita lupa. Rasulullah pernah bersabda bahwa banyak orang yang lalai pada malam takbir. Mereka disibukkan oleh persiapan menghadapi lebaran. Padahal, ada kemungkinan Lailatul Qadar jatuh pada malam itu. Jadi, lebih baik kita tetap perbanyak ibadah.
Lebaran dengan segala keagungannya, sayang bila kita lewati begitu saja tanpa makna dan ibadah. Jangan sampai kita terperosok ke dalam sikap dan perilaku yang jauh dari tuntunan Rasul hanya kerena kita tak mengerti.
Ketidakmengertian tersebut kadang-kadang menyeret kita ke arah pemborosan. Misalnya, mudik, berziarah dan lain-lain, adalah sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah. Jang memaksakan diri untuk melakukannya. Apalagi aktivitas-aktivitas seperti itu bisa dilakukan kapan saja, sama nilainya bila kita melakukannya pada hari lebaran.
Seharusnya lebaran adalah awal dari kesempurnaan pribadi setelah hawa nafsu diuji selama sebulan penuh. Fungsi “la’allakum tattaqun” harus makin terlihat pada diri seorang Muslim yang telah melewati Ramadhan.
« Prev Post
Next Post »