Ibnu Sab’in Intelektual Islam Terakhir Dari Andalusia Spayol

Al-Junayd, seorang sufi eksentrik, pernah berdoa, “Ya Allah. Engkau boleh menyiksa diriku dengan siksa apa saja, tapi janganlah engkau menyiksaku dengan kehinaan karena terhalang dari diri-Mu.”

Doa sufi itu mengisyaratkan kalau: Kesempurnaan, kenikamatan dan kebahagiaan hanya bisa diperoleh seorang manusia jika orang itu dapat melakukan musyahadah (menyaksikan) Allah SWT secara jelas dan terus-menerus. Hingga orang itu tidak berpaling dari Allah SWT sekejap pun, bahkan kondisi musyahadah itu tetap menyertainya ketika orang itu meninggal dunia, sehingga kenikmatannya terus bersambung tanpa tersela oleh kedudukan.

Ibn Sab'in Filsafat Ilmu Tahqiq

Apakah ada cara untuk mendapatkan kondisi itu? Ada, kata para sufi. Yaitu, dengan mulazamah, kemestian melanggengkan pikiran tentang Allah SWT di setiap waktu. Mulazamah itu tidak lain dari zikir -- sebuah usaha terus-menerus untuk menghadirkan shurah (citra) Allah SWT di dalam hati. Selain para sufi, para ahli agama dan para filsuf juga memiliki jawaban untuk itu. Jawaban mereka berbeda-beda seperti perbedaan cerita gajah dari empat orang buta yang meraba seekor gajah. Kisah gajah dan orang buta itu mengindikasikan bahwa dalam upaya mengetahui hakikat ketuhanan, manusia tidak mendapatkan kebenaran dalam seluruh aspeknya. Juga tidak luput dalam seluruh aspeknya. Namun, hanya menyentuh satu atau beberapa aspeknya saja.

Ibnu Sab’in, representasi intelektual Islam terakhir dari Andalusia, Spayol, bekerja keras menghimpun semua jawaban yang sudah ada hingga masanya tentang cara menemui dan menyaksikan Tuhan tersebut. Kemudian ia berupaya menjelaskan keunggulan dan kelemahan semua jawaban yang ada, lalu memberikan konsep yang lebih ampuh untuk menemui Allah SWT. Konsep racikannya itu disebutnya sebagai “ilmu tahqiq”. Ibnu Sab’in memenuhi semua persyaratan untuk melakukan proyek besar itu, sebab dia adalah master filsuf mistis yang telah mampu menguasai dan menjabarkan filsafat mistik secara sangat subtil, penerus tradisi Al-Suhrawardi (w. 587 H/ 1191 M) dan Ibnu ‘Arabi (w. 638 H/1165 M).

Tentang posisi Ibnu Sab’in dalam sejarah filsafat Islam, SH Nasr mengatakan, “Dengan wafatnya Ibnu Rusyd, sesuatu telah mati, tetapi itu bukan filsafat Islam. Filsafat Islam memulai fase baru kehidupannya di Persia dan wilayah Timur Islam lain, saat ‘mentarinya’ tenggelam di Barat. Tetapi sebelum mentari itu benar-benar tenggelam di Barat, tampak paling tidak seorang filsuf penting lainnya, yaitu ‘Abd Al-Haqq Ibnu Sab’in.”

Ibnu Sab’in adalah tokoh yang melontarkan konsep ilmu tahqiq, memiliki nama lengkap Abu Muhammad ‘Abd Al-Haqq bin Ibrahim bin Muhammad bin Nashr bin Muhammad Ibnu Sab’in. Dia dinisbahkan ke banyak negeri, yaitu Andalusia, Mucia, Valle de Ricote, dan Sevilla. Dia juga mendapat banyak julukan, seperti: Ibnu Sab’in, Syaykh Al-Sab’iniyyah, dan Quthb Al-Din. Lahir di Valle de Ricote, Spayol pada tahun 614 H/ 1217 M, dia dibesarkan di dalam keluarga Muslim Spayol yang mempertahankan keaslian darah Arab. “Sebuah keluarga yang dianugerahi kemewahan, kehormatan, dan kekayaan yang berlimpah.” Bahkan, ada penulis biografi Ibnu Sab’in yang berujar kalau nasabnya juga bersambung hingga Nabi Muhammad SAW. Dia meninggal di Mekkah pada hari Kamis 9 Syawwal 669 H, di usia lebih dari 55 tahun.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa Ibnu Sab’in meninggal bunuh diri. Ada yang mengatakan dia dipaksa bunuh diri dan yang lain mengatakan dia sengaja bunuh diri di depan Ka’bah karena mengalami ekstase penyatuan. Peneliti lain menyatakan bahwa Ibnu Sab’in meninggal karena diracun orang yang membencinya. Cerita wafatnya Ibnu Sab’in dengan sengaja bunuh diri terlihat mustahil karena dia adalah seorang ulama yang sangat taat pada syariat Islam yang melarang bunuh diri. Kemungkinan terbesar adalah dia meninggal karena diracun, karena hingga masa tuanya dia dikelilingi oleh orang-orang yang membenci dan memusuhinya.

Pada masa hidupnya, Ibnu Sab’in memperoleh popularitas yang tinggi baik sebagai figur ahli fiqih, teologi, tasawuf, dan filsafat terbesar atau sebaliknya sebagai tokoh kontroversial pembuat bid’ah, kafir dan zindiq terbesar di banyak pelosok dunia yang dikunjunginya. Bahkan, kepopulerannya menembus batas dunia Islam dan mencapai dunia Eropa Kristen. Karyanya Al-Kalam ‘Ala Al-Masa’il Al-Shiqliyyah (Answers to Sicilian Questions), jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Federick II tentang masalah-masalah dalam madzhab Aristotelianisme kemungkinan besar langsung diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan dikaji di dunia Barat pada saat itu. Karya itu menjadi bukti historis tentang dialog budaya antara Eropa dengan dunia Islam pada Abad Pertengahan.

Ibnu Sab’in telah menghasilkan banyak karya. Al-Taftazani menyebut jumlah keseluruhan karya Ibnu Sab’in ada 41 buah. Sebagian karya itu sudah dipublikasikan dalam bentuk tiga buah buku, yaitu karya tersebut di atas, lalu Budd Al-‘Arif, dan Rasa’il Ibn Sab’in yang berisi 20 karyanya dalam bentuk makalah, wasiat, atau risalah.

Sumber utama untuk mengetahui pemikiran Ibnu Sab’in tentang ilmu tahqiq adalah Budd Al-‘Arif. Di dalam risalah Al-Risalah Al-Faqiriyyah dia menjelaskan urgensi Budd Al-‘Arif dengan mengatakan: “Orang yang ingin mengetahui tujuannya, hendaknya dia membaca Budd Al-‘Arif karena di dalamnya aku tuliskan hal-hal yang tidak aku tuliskan dalam kitab lain.” Terlihat dia sangat membanggakan karya itu dengan mengatakan : “Renungilah budd-mu (maksudnya Tuhan) di dalam budd-mu (maksudnya Budd Al-‘Arif), sebab dia merupakan kitab kesembilan yang muncul di dunia … meskipun di dalam kitab itu hanya menuliskan sedikit rahasia.”

Konsep Tahqiq

Konsep tahqiq Ibnu Sab’in dilandasi oleh konsep dasar yang sangat sederhana, yaitu bahwa wujud itu hanya satu saja, yaitu wujud Allah. Semua wujud selain wujud Allah benar-benar sama dengan wujud Allah dan bukan tambahan bagi wujud-Nya. Ibnu Sab’in menamakan mazhabnya itu dengan al-wahdah al-muthlaqah (absolute oneness, kesatuan mutlak), untuk membedakannya dari mazhab-mazhab wahdah al-wujud lain yang masih memberikan tempat untuk mengatakan adanya wujud-wujud kontingen.

Di awal kitab Budd Al-‘Arif, Ibnu Sab’in menegaskan bahwa pembagi-bagian wujud dan penjelasan hubungan Allah dengan maujud lain dalam kerangka teori emanasi -- begitu juga pendapat filsuf dalam teori-teori lain -- bagi dirinya bukanlah merupakan hakikat, tetapi merupakan pembagian yang relatif. Menurutnya, pada hakikatnya yang ada hanya Allah saja. Dia mengatakan: “Pada hakikatnya, tidak ada pendiptaan, emanasi, identitas, hakikat, esensi aktif, dan daya yang mengetahui segala entitas yang diciptakan kecuali bagi esensi azali yang Wujud-Nya tidak berawal dan berakhir, yang berkat cahaya dan wujud-Nya sagala maujud mendapatkan sinar. Atribut-atribut wujud itu bukan tambahan bagi esensi-Nya.”

Ilmu tahqiq adalah ilmu untuk merealisasikan konsep dasar yang sederhana itu. Ibnu Sab’in menerangkan bahwa ilmu tahqiq adalah, “Pengetahuan tentang al-wahdah (unity). Pengetahuan inilah yang lebih pantas disebut sebagai ilmu ketuhanan, sebab tujuan ilmu ketuhanan adalah al-tawahhud (process that constitutes a unity) dan al-muwahid (maker of the One) adalah orang yang memiliki pengetahuan yang menghapuskan segala pengetahuan tentang sesuatu yang bukan al-wahdah.”

Hasil yang didapat dari ilmu tahqiq sebagaimana dijelaskan Ibnu Sab’in adalah, “Keadaan yang tinggi dan megah, yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak terlintas pada hati manusia. Membatasi keberadaan itu dengan mendeskripsikannya lewat kata-kata adalah perbuatan yang tidak indah, tidak boleh, dan tidak mungkin.”

Makna yang diberikan Ibnu Sab’in itu selaras dengan makna literal kata tahqiq --bisa diterjemahkan dengan realisasi atau verifikasi-- yaitu memberikan segala sesuatu hak-hak mereka secara penuh atau mengakui haqq segala sesuatu itu dan berbuat kepada mereka dala pola yang tepat. Tahqiq adalah maqam tertinggi pengetahuan manusia.

Muhaqqiq

Orang yang menguasai ilmu tahqiq --dinamakan muhaqqiq-- digambarkan Ibnu Sab’in sebagai manusia khusus dari kalangan manusia yang khusus. Muhaqqiq adalah orang yang menetapkan al-wahdah al-muthlaqah dengan cara bertahap yaitu; dimulai dengan cara membedakan antara satu penampakan dengan penampakan lain. Lalu mengingkat dengan menetapkan wujud Sang Benar saja tetapi masih menetapkan dualisme. Dan, terakhir dengan menetapkan al-wahdah al-muthlaqah yang kosong dari persepi-persepsi; kedahuluan, kemudian, waktu, tempat, kekadiman, kontingensi, serta pelaku obyek.

Ibnu Sab’in menjelaskan bahwa ilmu tahqiq bukan ilmu yang populer dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Golongan-golongan yang telah berkecimpung dalam ilmu ketuhanan, yaitu filsuf, sufi, dan al-asy’ari, dan secara umum semua teolog, menurut Ibnu Sab’in tidak berhasil menjadi muhaqqiq, karena mereka tidak mampu mencapai, mengerti, menguasai, dan merealisasikan ilmu tahqiq secara sempurna. Mereka gagal menempuh al-safar (perjalanan) yang sangat berat.

Masyarakat, menurut Ibnu Sab’in, justru memusuhi orang yang menguasai ilmu tahqiq. “Di dunia nyata ini,” katanya “orang yang membicarakan ilmu itu malah dibunuh. Ringkasnya, tidak ada jalan untuk mengetahui sedikit pun tentang ilmu itu kecuali dengan mencapai dan meraihnya sendiri. Membicarakan ilmu ini adalah sesuatu yang tidak diterima oleh watak manusia dan tidak biasa bagi jiwa mereka.”

Sebagaimana telah disinggung di atas, dalam pemaparan tentang ilmu tahqiq Ibnu Sab’in menjelaskan sebab kegagalan para faqih, teolog, sufi, dan filsuf menguasai ilmu tahqiq. Meskipun demikian, Ibnu Sab’in tidak menolak sepenuhnya ajaran dari empat kelompok tersebut. Dia menganggap, setiap mazhab tersebut menyenntuh kebenaran dalam beberapa aspek dan salah dalam beberapa aspek. Dia mengakui kebenaran masing-masing mazhab tersebut dalam aspek-aspek itu, dan karena dia telah mencapai derajat muhaqqiq maka dia dapat menunjukkan titik-titik kesalahan mereka.

Tentang hal tersebut, Ibnu Sab’in mengajarkan murid-muridnya agar jika berbicara dengan diri sendiri dan merenungi hakikat sebagaimana adanya, maka kita harus menjadi muhaqqiq. Sedangkan jika kita berdebat, maka kita harus menjadi filsuf. Lalu jika kita memberikan penjelasan dan membela diri dari musuh, maka kita harus menjadi sufi. Sementara jika kita bergaul dan berbicara dengan orang-orang gila, maka kita harus menjadi al-asy’ari (teolog). Dan jika kita ingin mengerjakan perbuatan praktis, maka kita harus menjadi faqih.

Metode Tahqiq

Ilmu tahqiq memiliki metode yang disebut Ibnu Sab’in sebagai manthiq al-muhaqqiq (logika muhaqqiq). Logika muhaqqiq itu merupakan metode menagkap realitas yang sama sekali berlainan dengan logika Aristoteles, metode yang senafas dengan spiritualitas realitas yang serba-ada tersebut. Sikap awal Ibn Sab’in terhadap logika Aristoteles sebenarnya sama dengan sikap kebanyakan pemikir Muslim, yaitu menjadikan logika Aristoteles itu sebagai salah satu disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh seorang sufi. Akan tetapi, dengan konsep al-wahdah al-muthlaqah, Ibn Sab’in menghasilkan kesimpulan yang berbeda dengan para sufi dan para filsuf Peripatetis.

Lewat logika muhaqqiq, Ibnu Sab’in menunjukkan bahwa dia memahami dan sekaligus melampui epistemology Aristoteles. Dia menggugat keseluruhan logika Aristotelian dengan mengkritik analisis kategorial tentang realitas yang mengakibatkan kesalahpahaman tentang kesatuan radikal antara realitas dengan kemahaesaan Ilahi. Menurut Ibnu Sab’in, bahasa awam dan filsafat Aristoteles serta kaum Peripatetis yang berasaskan pada bahasa awam itu telah mengacaukan keserahadiran Tuhan dalam dunia dan keberbahadiran dunia dalam Tuhan.

Ibn sab’in secara mendetail mengkritik konsep tentang al-hadd (definisi), 6 term pokok logika, yaitu al-jins (genius: jenis), al-naw’ (species: species), al-khashshah (property: sifat), al-‘ardh (accident: aksiden), al-fashl (perbedaan), dan al-syakhsh (individu), dan al-maqulah al-‘asyrah (sepuluh kategori), yaitu al-jawhar (substansi), al-kammiyyah (kuantitas), al-kayfiyyah (kualitas), al-mudhaf (relasi), mata (waktu), ayna (tempat), al-wadh’ (posisi), al-milkiyyah (milik), al-fi’l (aksi), dan al-infi’al (undergoing, affection).

Ibnu Sab’in juga secara selintas mengkritik buku-buku logika Aristoteles yang lain, yaitu Bari Arminiyas/ Al-‘Ibarah (The Interpretation) dan Al-Qiyas (Prior Analytics). Ibnu Sab’in mengetakan, dia sengaja tidak membahas buku logika Aristoteles yang terakhir, yaitu Al-Burhan (Posterior Analytics). Namun Ibn Sab’in kemudian memaparkan kajian tentang ilmu dan definisi-definisi isinya sebagai ganti pembahasan buku Posterior Analytics.

Tentang definisi, misalnya, Ibn Sab’in berbeda pendapat dengan para ahli logika klasik dalam masalah fundamental. Pada saat menyusun definisi-definisi dan membangun argumentasi-argumentasi, para ahli logika klasik mengandalkan pengalaman inderawi dan investigasi (istiqra’) entitas-entitas parsial, sehingga logika mereka bersumber dari pengalaman. Sementara Ibnu Sab’in tidak demikian, dia berpendapat bahwa bentuk-bentuk definisi dan argumentasi terdapat di dalam jiwa secara fitrah. Bentuk-bentuk itu tetap secara abadi di dalam jiwa tidak berubah-ubah. Dengan demikian, logika muhaqqiq tidak membutuhkan definisi, karena lewat dfinisi seseorang cuma mencari sesuatu yang sudah ada.

Ibn Sab’in menerapkan mazhab al-wahdah al-muthlaqah terhadap definisi logis dan menghasilkan kesimpulan yang sangat menarik. Dia berpendapat bahwa definisi Aristotelian merupakan ilusi dalam sebuah pandangan muhaqqiq, sebab definisi dengan sesuatu yang didefinisikan, sementara muhaqqiq melihat hanya ada satu wujud yang mutlak dan sama sekali tidak ada tempat untuk suatu pembedaan.

Dengan demikian, logika muhaqqiq adalah logika yang tidak diperoleh dengan pengalaman inderawi atau investigasi, serta tidak mengandalkan premis-premis Peripatetis dan dalil-dalil demonstratif. Logika muhaqqiq adalah logika instuitif fitri (dzaswqi fithri) dan ikhtibar (experiencial), yang sudah tertanam di dalam jiwa. Manusia tinggal melakukan upaya al-safar (perjalanan), yaitu memenuhi sejumlah persyaratan, lalu melakukan pendakian dan perjalanan menuju al-wahdah.

Al-Safar tidak lain daripada upaya untuk mencapai Allah yang basisnya adalah usaha menemukan jiwa (ikhtisyaf al-dzat) atau lebih tepatnya usaha menemukan rahasia yang disimpan Allah pada diri (jiwa) manusia. Seperti dikatakan Nabi Muhammad SAW --juga Sokrates-- bahwa “Orang yang mengenal dirinya (dalam bahasa Arab nafsahu; jiwanya), dia mengenal Tuhannya.” Ibn Sab’in sangat yakin; “orang yang tidak mengetahui dirinya adalah orang yang sangat layak untuk tidak mengetahui selain dirinya.”

Mengaplikasikan logika tersebut diiringi dengan usaha al-safar akan membuat manusia menjadi muhaqqiq. Dan, jika saja seorang manusia sudah mencapai derajat muhaqqiq, maka dia akan menemui Tuhan yang ada lebih dekat dengan dirinya daripada dengan urat lehernya sendiri.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top