Ada sesuatu yang “tak lazim” pada acara penganugerahan Nobel Fisika di Karolinska Institute, Swedia, tahun 1979. Sang penerima penghargaan tertinggi mengawali pidatonya dengan bacaan basmalah, sesuatu yang tak pernah terjadi pada upacara pemberian Nobel Fisika di masa sebelumnya.
Siapa sang peraih Nobel tersebut? Dia adalah fisikawan Muslim asal Pakistan, Abdus Salam. Nobel tersebut diberikan atas teorinya berjudul unifying the forces yang ditemukan 12 tahun sebelumnya, 1967.
Isi teori tersebut menjelaskan bahwa arus lemah dalam inti atom diageni oleh tiga partikel yang masing-masing memancarkan arus atau gaya kuat.
Keberadaan tiga partikel itu kemudian dibuktikan secara eksperimen pada tahun 1983 oleh tim riset yang dipimpin Carlo Rubia, direktur CERN di Jenewa, Swiss. Bahkan, teori itu menemukan Theory of Everything yang sangat terkenal itu.
Kini, para kosmolog dan fisikawan dunia terus berambisi untuk menjelaskan rahasia penciptaan alam semesta dalam satu teori tunggal yang utuh. Dan itu semua berawal dari temuan Abdus Salam.
“Saya berharap teori unifing the forces ini dapat memberi penyadaran ilmiah bahwa Tuhan itu esa,”
kata penulis dua ratus lima puluh makalah fisika partikel di hadapan para fisikawan yang menghadiri acara penganugerahan Nobel-nya.
Di kesempatan lain, dalam makalah berjudul Faith and Science, Abdus Salam menegaskan bahwa ilmu pengetahuan sama sekali tidak bertentangan dengan pemahaman Islam, justru sebaliknya, teori unifing the forces diilhami oleh kalimat tauhid la ilaaha illallah.
Sementara saat membacakan makalah berjudul The Holy Quran and Science dalam satu sidang UNESCO di Paris, 1984, Abdus Salam mengutip beberapa ayat al-Qur’an, antara lain surah 88:17 dan surah 3:189-190, yang mengisahkan penciptaan langit, bumi, dan segala isinya.
“Saya seorang Muslim. Karena itu saya percaya dengan pesan spiritual yang dikandung al-Qur’an. Al-Qur’an banyak membantu saya memahami hukum alam dengan contoh-contoh fenomena kosmologi, biologi, dan kedoteran,”
kata Salam saat itu.
Abdus Salam boleh disebut dua sosok manusia yang berfungsi dalam satu tubuh, seorang cendikiawan sekaligus ulama. Sebagai cendikiawan, ia adalah pengikut terakhir dari tradisi fisikawan klasik. Menurutnya ilmu pengetahuan pada akhirnya adalah tunggal dan bermula dari prinsip-prinsip yang sederhana. Muara dari semua itu adalah al-Qur’an.
Namun, prinsip-prinsip yang sederhana tersebut harus dicari. Pencarian ini sebetulnya sudah dimulai pada zaman Yunani Kuno dan dilanjutkan dalam Islam oleh Al-Biruni (973-1050 M) yang menegaskan bahwa alam memiliki hukum yang sama di mana saja, di Bumi atau di Bulan.
Sebagai ulama, Abdus Salam adalah muslim yang taat. Sayangnya, di akhir hayatnya, Abdus Salam harus dikucilkan dari negaranya karena dituduh sebagai pengikut aliran Ahmadiyyah. Kebetulan, ayahnya adalah seorang pengikut Mirza Ghulam Ahmad, pendiri gerakan Ahmadiyyah. Ahmad mengklaim dirinya sebagai pembawa wahyu baru untuk menafsirkan kembali Islam untuk kebutuhan abad modern.
Baca juga:
Pada tahun 1914, gerakan Ahmadiyyah ini terpecah dua, yaitu Ahmadiyyah Qadian yang tetap mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai pewaris wahyu, dan Lahore yang menolak ajaran Ghulam Ahmad dan membentuk “Masyarakat Penyebar Agama Islam”. Kepada cabang Ahmadiyyah Lahore itulah orang tua Salam menggolongkan dirinya.
Abdus Salam sendiri menegaskan bahwa ia tidak termasuk ke dalam sekte apa pun. Baginya, hanya ada satu Islam dengan sumber al-Qur’an dan Hadis. Buktinya, atas dua sumber inilah Salam menelurkan teori-teori fisikanya.
Tapi sayang, Majelis Nasional Pakistan di bawah penguasa Zulfikar Ali Bhutto mengucilkan semua orang yang dianggap pengikut Ahmadiyyah, baik Qadian maupun Lahore, termasuk Abdus Salam.
Pada masa tuanya, di tempat pengasingan di Inggris, Abdus Salam menderita stroke dan Parkinson. Ia tak bisa menggerakkan lagi tubuhnya. Saat diminta datang ke pertemuan yang dihadiri para fisikwan seluruh dunia di Trieste selama tiga hari, Salam hanya bisa terduduk kaku di atas kursi roda.
Pertemuan itu memang diadakan untuk memberi kehormatan terakhir kepada Abdus Salam sebelum penyakit yang dideritanya melumpuhkan semua ingatannya. Puncak pertemuan dilakukan dengan memberi gelar honoris causa kepada Salam dari Universitas St Petersburg (dahulu Leningrad).
Sesudah upacara resmi usai, semua peserta menyampaikan upacara selamat kepada Salam. Tak ada reaksi dari tubuh yang sudah lumpuh dan bisu itu kecuali ketika seorang peneliti muda dengan gugup berbisik kepadanya, “Pak, saya adalah mahasiswa dari Pakistan. Kami sangat membanggakan Bapak,”
Mendengar kalimat itu, bahu Salam langsung bergetar dan air mata pun mengalir di pipinya.
Pada 20 November 1996, Abdus Salam menghembuskan nafas terakhir di Oxford, Inggris, tempat yang jauh dari tanah air yang dicintainya, dalam usia 70 tahun. Abdus Salam meninggalkan seorang istri dan 6 anak; dua laki-laki dan empat perempuan.
“Dia meninggal di rumahnya (di Oxford, Inggris) setelah cukup lama menderita Parkinson,”
kata Abdu Wahab, saudara kandung Salam.
« Prev Post
Next Post »