Maladewa Maju Karena Mempertahankan Syariat Islam

Maladewa Maju Karena Mempertahankan Syariat Islam - Al-Ashlu baqa maakaana ‘ala makaa-naa. Adagium ini kira-kira berarti “Bagaimanapun, ketetapan dari awal tidak akan berubah”. Adagium ini juga agaknya tepat sekali menggambarkan negara Maladewa. Sebab, meskipun sejak awal kaum imperalis Barat mengacak-acak negeri ini dengan budayanya yang sekuler, Islam tetap memperoleh kepercayaan di hari masyarakat.

sejarah islam di Maladewa

Mula pertama Islam masuk ke Maladewa dibawa oleh para pengembara dari Arab. Ini terjadi sekitar tahun 1153 masehi. Sebelumnya, penduduk asli Maladewa dari bangsa Aria beragama Budha dan Hindu. Lama kelamaan, Islam mampu merebut simpati penduduk pribumi. Kebanyakan mereka kemudian memeluk Islam.

Wajah Maladewa mulai berubah, meskipun budaya Hindu dan Budha terkadang masih sulit dihilangkan. Bahasanya pun mulai berubah dari Aria ke Indo-Arian, yaitu campuran antara bahasa Persia, Tamil, Urdhu dan Arab. Sistem pemerintahan juga berubah menjadi kesultanan berasaskan Islam.

Pada pertengahan abad 15, bangsa Portugis datang menjajah negeri penghasil kopra, tembakau, dan tali tambang ini. Mereka merampas semua hasil bumi Maladewa. Raja Ali yang menjadi sultan saat itu tak berhasil mengusir tentara portugis dari negerinya. Barulah pada tahun 1573, di bawah komando panglima perang Muhammad Thakurufaanu, Maladewa berhasil mengusir Portugis.

Empat tahun kemudian Inggris masuk. Mereka menawarkan bantuan untuk menghalau Portugis jika suatu saat kembali datang menjajah. Maklum, kedua negara di Eropa ini waktu itu sedang bersaing ketat dalam bisnis dagang.

Kesalahan terbesar kesultanan Maladewa pada saat itu ialah terlalu percaya kepada Inggris yang jelas-jelas punya ambisi. Mereka malah mau saja diintervensi urusan perancangan konstitusi kenegaraan.

Pada tahun 1887 dirumuskanlah undang-undang pembentukan militer, hukum adat, sistem pengadilan, ekonomi, dan batas teretorial negara, yang semuanya dikendalikan oleh Inggris. Entah mengapa, perumusan itu tak kunjung usai hingga hampir memasuki abad 20, tepatnya tahun 1932. Dan, Maladewa tetap memegang teguh sistem kesultanan dengan pemberlakuan syariat Islam.

Sayangnya, pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Shamsudheen, tugas kejaksaan dan hukum adat diserahkan kepada imperalis Inggris. Kebijakan ini jelas mengundang reaksi masyarakatnya. Pada 1948 perjanjian antara Maladewa-Inggris diperbaruhi kembali. Hingga akhirnya, lima tahun kemudian, sistem pemerintahan Maladewa berubah menjadi Republik.

Apa yang terjadi di Maladewa ini mengingatkan kita pada runtuhnya kekhalifahan Turki. Sekadar rujukan, selama menjajah, kaum imperalis Barat selalu menerapkan politik devide and rule (memecah lalu memerintah). Dengan kata lain, mereka berusaha menanamkan paham sekulerisme, yaitu memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat.

Dugaan seperti ini sangat kentara terlihat pada pemilihan Presiden Mohammad Amin Didi (presiden pertama Maladewa, 1953) yang menerapkan monopoli ekonomi terutama produksi tembakau dengan berkongsi kepada Inggris. Juga saat tepilihnya Ibrahim Nasir sebagai presiden kedua pada tahun 1965. Ibrahim membuka pintu lebar-lebar kepada Inggris untuk menentukan wilayah teritorialnya. Bahkan beberapa pulau pun dihibahkan kepada Inggris.

Ketidakstabilan politik ini kembali mengundang gelombang protes. Masyarakat menginginkan Maladewa melepaskan diri dari imperealisme  Inggris dan mengembalikan aturan pemerintahan kepada syariat Islam. Tak sia-sia, tuntutan tersebut akhirnya disepakati oleh pemerintah Maladewa-Inggris. Pada 26 Juli 1968 penandatanganan perjanjian Inggris Maladewa dilakukan. Tanggal ini kemudian dikenal sebagai hari kemerdekaan Maladewa.

Setelah merdeka, sistem pemerintahan tetap berbentuk Republik, namun acuannya adalah Islam. Maklum, 99 persen penduduk Maladewa adalah Muslim. Presiden pertama yang terpilih adalah Maumoon Abdul Gayyoom. Dialah yang menyempurnakan sistem pemerintahan.

Sebagai contoh, jika terbukti ada penduduk yang melakukan ritual keagamaan selain Islam di luar tempat yang diizinkan, mereka akan dikenakan sanksi.

Kebijakan ini kontan menimbulkan reaksi di kalangan negara-negara sekuler, khususnya AS. Menurut laporan Duta Besar Maladewa di AS, Kementerian Hak Asasi Manusia AS sering mendesak mereka agar mencabut kebijakan tersebut. Gayyoom, yang pernah mendapat gelar doktor honoris causa bidang filsafat dan politik internasional dari sebuah universitas di AS pada 1998, dinilai telah melanggar hak asasi manusia.

Namun faktanya, kebijakan mempertahankan pemberlakuan asas Islam tersebut justru membuat Maladewa lebih aman dari sebelumnya. Keamanan ini telah menciptakan iklim bisnis yang bagus. Buktinya Maladewa tercatat sebagai negara yang memiliki industri bidang kontruksi, telekomunikasi, perbankan, pelayaran, dan penerbangan terbesar di Asia Selatan. Khusunya untuk pariwisata, selain menjadi saingan ketat Pulau Bali di Indonesia, Maladewa maju selangkah dari negara-negara Asia Tenggara.

“Rasa syukur kami yang paling besar adalah keyakinan kami akan syariat Islam,” kata Gayyoom pada pidato kenegaraan menyambut hari kemerdekaan Maladewa yang ke-34 silam.

Pariwisat Sektor Andalan Maladewa

Posisi Maladewa terletak di antara Asia Selatan dan Asia Barat. Kira-kira berjarak 300 mil dari India (Asia Selatan) dan 434 mil dari Sri Lanka (Asia Barat).

Umumnya, gugusan pulau-pulau kecil yang berjajar di Maladewa terlihat dangkal dari permukaan laut. Hamparan pasir di pantainya dominan putih, sehingga pemandangan di sana begitu memikat hati. Terumbu karang berwarna-warni terlihat cukup jelas dari atas air. Flora dan faunanya juga mempesona.

Panorama cantik inilah yang menjadi magnet wisata para pelancong mancanegara. Tak hanya sekadar datang, mereka juga banyak yang menanamkan investasi di negara ini.

Untuk urusan bisnis pariwisata, Kantor Menteri Kepulauan Maladewa telah menyiapkan masterplan, mana pulau yang boleh disewa dan mana yang tidak. Untuk pulau yang boleh disewa, para investor diperbolehkan membangun fasilitas wisata di laut, sementara di daratan hanya untuk penunjang.

Kebijakan ini cukup mendongkrak sektor perekonomian Maladewa, wisata bahari di pulau tanpa penghuni saja mampu memikat ratusan ribu wisatawan mancanegara pertahunnya dengan devisa lebih dari 600 juta dolar AS. Nilai yang tentu saja sangat menggiurkan.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top