Konsep Ego Dalam Pemikiran Muhammad Iqbal - Umat Islam dewasa ini seolah tepat berada di persimpangan jalan. Mereka melihat dengan jelas jalan lurus membentang di depan mata menuju sebuah kemajuan peradaban sarat dengan kreativitas yang sangat menggiurkan, namun berujung pada liberalisme, rasionalisme, dan sekularisme yang semakin menjauh dari nilai religiusitas Islam. Pada waktu yang sama mereka menyaksikan dimensi yang berbeda. Satu jalan menuju realitas sejati yang berujung pada norma dan moralitas, namun jauh dari semangat kreativitas dan modernitas yang merupakan keniscayaan dari sikap hidup masyarakat secara umum dewasa ini. Kenyataan yang demikian pada akhirnya memaksa setiap individu untuk segera menentukan jalan mana yang harus ditempuh dalam upaya menemukan hakikat Tuhannya secara kaffah.
Fenomena sosial di atas adalah sebuah refleksi pemikiran yang terakhir sejak umat Islam tiba-tiba dikejutkan munculnya tren pembaruan pemikiran agama oleh Allama Muhammad Iqbal dalam bukunya (The reconstruction of religious of thought in Islam, hal. 1).
Iqbal (1877-1938), penerus ide para tokoh intelektual Muslim sebelumnya, lahir pada tahun 1877 di kota Sialkot, Punkabi, Pakistan. Setelah mengenyam pendidikan dasar dari ayahnya, Nur Muhammad, Iqbal tumbuh sebagai anak jenius dan berbakat dalam dunia seni, syair, sastra, dan filsafat. Karya-karya syairnya banyak diwarnai oleh filsuf Parsi Jalaluddin Rumi dan rasa kecintaannya yang tinggi kepada Allah.
Iqbal adalah penyair, guru, dai, pembaru, dan kritikus kebangkitan Islam. Ia adalah seniman tetapi tidak menempatkan dunia seni dalam satu tujuan final kehidupannya, sebagaimana ia adalah intelek namun ia memahami ilmu sebagai akhir tujuan hidupnya. Dasar teori filsafat Iqbal adalah kehidupan yang universal dan bukan pemikiran, sebab pemikiran menurutnya hanyalah jalan menuju suatu kebenaran.
Kerangka pemikiran Iqbal yang direfleksikan dalam bentuk puisi dan prosa dalam karya-karya monumentalnya, menurut Anemarie Schiemmel bersumber dari motivasi yang sangat mendalam atas ajaran agama Islam (Gabriel’s Wings). Agama dalam pandangan Iqbal adalah merupakan kekuatan yang sangat penting dalam kehidupan pribadi manusia dan pembangunan bangsa, oleh karena itu seluruh aktivitas individu dalam masyarakat adalah merupakan hasil cerminan dari ekspresi pengalaman beragama. Dari sekian pemikiran filsafatnya Iqbal mencoba memberikan solusi atas modernitas kehidupan dewasa ini dalam sebuah teori filsafat yang ia beri judul “Ego”
Kata ego berasal dari bahasa Inggris yang penjabarannya adalah: "The self of an individual person". (Collins English Dictionary). Kata tersebut mengandung arti hakikat individu manusia. Menurut Iqbal, jati diri manusia adalah tidak dapat diindera namun tumbuh sebagaimana berkembangnya makhluk di alam semesta ini. Ia dapat berkembang dari tingkat yang sederhana menjadi zat yang sempurna (Diwan Asrar wa Rumuz, hal. 29).
Substansi dari eksistensi ego (Asrari Khudi) sesungguhnya relevan dengan satu tesis filsafat yang mengatakan “Aku berfikir maka aku ada.” Menurut Iqbal, tesis ini dapat diartikan menjadi “Aku ragu maka aku ada.” Artinya, ketika manusia merasakan adanya keraguan dalam dirinya maka sesungguhnya perasaan itu bersumber dari ego tersebut.
Menurut Dr Samir Abdulhamid Ibrahim, pemikiran Iqbal tentang eksistensi ego ini adalah berasal dari tafsir al-Qur’an yang termaktub dalam surat Al-Alaq ayat 1-3. Intinya menerangkan bahwa ego manusia itu adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT.
Ego sebagai zat memiliki dua dimensi, individual dan sosial yang dapat dibina melalui beberapa tahapan. Pertama, ketaatan yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya (an-Najm: 80). Kedua, pensucian jiwa (al-Furqan: 43). Tahapan ini menurut Iqbal dapat berbentuk proses penguasaan diri dari hasrat hawa nafsunya. Ketiga, bergaul bersama orang-orang yang shaleh (al-Kahfi: 28). Karena dengan itu ia dapat selalu berada pada rel kebenaran Tuhannya.
Titik kulminasi kesempurnaan ego manusia akan dapat dicapai jika manusia telah mengejewantah tiga tahapan di atas dalam sikap hidup sehari-hari, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Sikap yang sedemikian ini, menurut Iqbal disebut Faqr.
Faqr dalam pemikiran Iqbal adalah suatu sikap mental manusia untuk tidak tergiur oleh kemewahan dunia (Iqbal and Quranic Wisdom: 29) yang dapat menjadikan manusia memiliki sifat-sifat Tuhannya (Darb-l-Kalim). Ketika manusia mencapai satu fase kesempurnaan egonya maka sesungguhnya ia telah mencapai tingkat Khalifah (wakil Allah) dengan kualitas sebagaimana berikut: mempunyai kekuatan untuk menjalankan sistem Qurani dalam seluruh aspek kehidupannya, mengajak manusia untuk berbuat yang positif dan mencegah sikap hidup yang sebaliknya, membangun tatanan dunia di atas prinsip keadilan dan persamaan dan tidak ada satu kekuatanpun yang menandinginya, menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta, mendapat pertolongan Allah, memiliki kekuatan setiap visi, ruang dan waktu, memiliki sikap sosial terhadap sesama dalam hidup bermasyarakat, memiliki sikap religius yang tinggi yang menjadikannya ksatria atas sesamanya dan pada akhirnya ia mencintai Allah dan selalu mengharapkan cinta Allah. Kualitas inilah yang kemudian merefleksikan suatu perasaan naluri dan akal pikiran manusia, yang bersumber dari kesempurnaan ego manusia. Ketajaman sentuhan ego ini sangat bergantung kepada cahaya di atas cahaya, untuk dapat membawa manusia kepada satu hubungan batin dengan aspek kebenaran yang Maha Tinggi.
Iqbal dengan pemikiran filsafatnya serta pandangannya yang tajam adalah mutiara yang tak akan redup sepanjang masa. Ia telah mengajak umat manusia untuk memahami kebenaran Allah dari celah-celah kebesaran-Nya.
« Prev Post
Next Post »