Mencari Pahala Shalat Tarawih

Sepertinya, tidak ada shalat sunnah yang lebih populer dari shalat tarawih. Jika kalah populer pun, ia hanya kalah dengan shalat ied saja. Fenomena yang selalu kita lihat, jika memasuki bulan Ramadhan, hampir semua masjid dan mushalla penuh dengan umat yang ingin shalat tarawih. Masjid akan mulai penuh menjelang shalat Isya’. Usai shalat Isya’ berjamaah, barulah shalat tarawih dimulai. Tidak jarang terlihat, orang-orang datang setelah shalat Isya’ selesai dilakukan, entah karena macet, atau karena alasan tertentu. Yang jelas, mereka rela tertinggal jamaah shalat Isya’nya, asal masih dapat shalat tarawihnya.

Mencari Pahala Shalat Tarawih

Keganjilan lain muncul dari kebiasaan ini. Ketika akan berangkat ke masjid ditanyakan kepada mereka akan kemana, jawabannya adalah “Tarawehan”. Kesan yang ditangkap adalah mereka ke masjid bukan ingin “Isya’an” tapi “tarawehan”. Tidak tahu, apakah jawaban mereka itu benar atau mungkin keliru.

Kejanggalan lain yang selalu tampak pada awal Ramadhan hampir semua masjid dan mushalla penuh sesak dengan jamaahnya. Namun seminggu kemudian, masjid tersebut hanya menyisakan separuh jamaah awalnya, dan pada seminggu terakhir, hanya sepertiga atau kurang dari itu yang bertahan.

Shalat tarawih, sebesat apapun pahalanya, tetap masih dalam kategori pekerjaan yang sunnah. Kaedah dasarnya, pahala yang wajib akan lebih besar ketimbang yang sunnah. Ketika kita akan lipat gandakan pahala tarawih karena dikerjakan secara berjamaah dan di bulan Ramadhan , bukankah shalat Isya’, Shubuh, Dzuhur, Ashar, dan Magrib yang dilakukan secara berjamaah akan mendapat pahala yang berlipat pula dan tidak kalah dengan pahala tarawih berjamaah? Yang tampak di masyarakat kita, sebuah masjid ketika shalat tarawih dilakukan, dapat menghimpun 500an jamaah. Di tempat yang sama, ketika shalat Dzuhur, Ashar, dan Magrib, juga Subuh, tidak mampu mengumpulkan atau mengajak separuh dari jamaah tarawihnya. Matematika pahala, sebenarnya masih menunjukkan besarnya pahala berjamaah shalat wajib yang lima waktu ketimbang shalat tarawih yang sunnah ini.

Pahala Shalat Tarawih

Dalam kitab Durrat al-nasihin (hal.20), karangan al-Khubawi disebutkan sebuah Hadis yang merinci pahala shalat tarawih per malamnya. “Barangsiapa yang melakukannya pada malam pertama, maka akan mendapatkan ampunan seluruh dosa-dosanya, malam kedua akan diampuni dosa kedua orangtuanya jika Muslim, malam ketujuhbelas akan diberikan pahala sebagaimana para nabi-nabi, sampai akhirnya malam keduapuluh Sembilan akan diberikan pahala seribu haji yang makbul.”

Kitab Durrat al-nasihin adalah termasuk kitab yang paling populer di kalangan umat Islam Indonesia. Kiai, ustaz, dai dan orang-orang awam banyak yang membaca kitab ini. Karena itu, dampak penyebaran Hadis dan kandungannya juga sangat luas. Di Negara jiran Malaysia, hampir setiap hari beberapa media cetak dan elektronik memaparkan pahala shalat tarawih di atas.

Sayangnya, hadis yang merinci pahala tarawih tadi tidak diketahui siapa yang merawikannya, alias sanadnya tidak ditemukan dalam kitab-kitab Hadis yang dapat dijadikan sandaran. Al-Baihaqi dalam Fada’il al-awqatnya, Al-Munziri dalam al-Targhib wa al-tarhibnya, Al-Dimyati dalam al-Muttajir al-rabihnya dan beberapa kitab lainnya yang biasa menyebutkan fadilah suatu amal tertentu, tidak satupun dari mereka yang menyebutkan Hadis ini. Begitu juga Ibn Hajar dalam Fath al-Bari yang juga membahas mengenai shalat tarawih, tidak pula menyebutkan Hadis ini. Ketika ulama-ulama Hadis sekaliber mereka tidak menyebutkan fadilah tarawih berdasarkan Hadis ini, maka hanya ada dua kemungkinan. Pertama, mereka tahu tapi tidak mau berdalil dengan Hadis ini karena lemah sekali atau bahkan palsu. Kedua, mereka tidak tahu kalau ada Hadis ini. Kedua-dua kemungkinan ini bermuara pada satu jawaban, yaitu palsunya Hadis tersebut. Alasannya, Satu, suatu Hadis tidak mungkin diriwayatkan tanpa menggunakan sanad yang dikenal atau diakui. Kedua, kepakaran sekelompok besar ulama yang memang diketahui menggeluti bidang tersebut menjadikan Hadis yang mereka tidak kenal adalah Hadis yang palsu. Sebab, untuk membuat Hadis palsu sangatlah mudah, namun untuk memenuhi persyaratan shahih, sangatlah sulit.

Selain faktor sanad/riwayat, kejanggalan Hadis ini juga tampak pada matannya. Pahala yang begitu besar dan terperinci sedetail itu, menjadikannya janggal dibanding dengan Hadis-hadis yang shahih. Akibatnya, matan Hadis ini mirip dengan ciri-ciri Hadis palsu. Antara lain, amalan yang kecil namun pahala /dosanya yang besar. Terperincinya pahala yang dijanjikan menyebabkan janggal dibanding dengan kebiasaan Rasulullah SAW yang tidak pernah memberi pahala sedemikian detil. Kalaulah ingin mengatakan bahwa Hadis ini tetap shahih, yang menjadi pertanyaan kita, mungkinkah suatu amalan yang masih kontroversial cara pelaksanaannya secara pelaksanaannya, dan Rasulullah SAW dalam catatan sejarah hanya melakukannya secara berjamaah tidak lebih dari empat hari saja, menjanjikan pahala yang sedemikian besarnya?

Hadis Shahih

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim “Siapa yang mendirikan malam-malam bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan pengharapan, maka akan diampuni dosa-dosa lalunya.” Meski tidak spesifik menyebutkan kata shalat tarawih, namun mempunyai makna implisit shalat tarawih itu. Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menegaskan penafsiran tersebut.

Jikapun Hadis ini enggan ditafsirkan sebagai shalat tarawih, apakah masih diperlukan Hadis palsu untuk menjabarkan pahala shalat ini? Tidak cukupkah beberapa indikasi lain yang jelas akan membawa pahala shalat tarawih ini menjadi besar, tanpa perlu berbohong atas nama Nabi?

Tidakkah suatu amalan yang dilakukan pada bulan Ramadhan akan dilipatgandakan, terlebih lagi dilakukan di masjid dan secara berjamaah. Akan beberapa kali lipat jika dibanding amalan yang serupa namun dilakukan di luar bulan Ramadhan?

Jika demikian besar pahalanya, bukankah shalat wajib yang dilakukan di masjid dan secara berjamaah pahalanya juga akan berlipat ganda? Dan bukankah pahala tarawih disepuluh hari terakhir bulan Ramadhan akan menjadi sangat besar mengingat kemungkinan akan bertepatan dengan Lailatul Qadar? Jika demikian, bukankah seharusnya tarawih di akhir bulan Ramadhan akan semakin ramai sebagaimana yang sering kita lihat di Masjidil Haram? Semoga kita bisa mendapatkannya. Amin.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top