Pertumbuhan Dalam Ekonomi Islam Dan Kapitalis Neo-Klasik

Teori kapitalisme neo-klasik mengajarkan kepada manusia bahwa ekonomi adalah bisnis (business) dan pertumbuhan (growth), bukan keadilan sosial (social justice).

Sebaliknya, Islam dalam teori ekonominya mengajarkan bahwa pertumbuhan dan pemerataan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam aktivitas ekonimi. Bahkan, keadilan sosial dijadikan tujuan penting. Karena keadilan adalah sikap dasar yang mencapkup keimanan kepada Allah dan Islam. Seorang beriman harus berlaku adil baik dalam segala hal termasuk dalam kegiatan ekonominya.

Pertumbuhan Dalam Ekonomi Islam Dan Kapitalis Neo-Klasik

Sejak munculnya bentuk negara modern, teori kapitalisme noe-klasik dengan konsep pertumbuhan ekonomi memang telah menjadi alat legitimasi otoritas politik. Setiap pemerintah berusaha untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi walaupun harus dibayar dengan harga apapun. Karena rating peningkatan pertumbuhan ekonomi adalah ukuran keberhasilan sebuah pemerintahan.

Paradigma ini sampai batas tertentu memang cukup menyakinkan dengan bukti-bukti nyata yang ada. Indonesia saja, misalnya, pada masa Orde Baru dengan menjalankan paradigma ini telah berhasil menjadi one of eight miracles of Asia. Ini menajubkan, sebuah negara miskin bisa dikelompokkan dengan negara seperti Siangapura.

Tetapi dibalik keberhasilan itu, ternyata paradigma ekonomi ini telah juga berakibat sangat berbahaya, yaitu bahwa negara kita telah terperangkap dalam tiga jebakan: utang, pengangguran, dan kesenjangan ekonomi.

Teori Trickle Down

Para ekonom aliran ini berkayakinan bahwa apabila suatu negara di dunia sudah makmur maka yang lain juga akan ikut makmur. Apabila sebagian dari rakyat yang satu bangsa kaya maka rakyat yang lain akan kecipratan kekayaan mereka juga.

Ibarat sebuah bejana, apabila diisi air sampai penuh maka akhirnya akan meluber dan menetes ke bawah juga. Berdasarkan teori ini maka negara yang menganut kapitalisme neo-klasik akan bersikap growth mania, yang penting tumbuh menjadi besar walaupun tidak merata.

Namun, teori ini sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena teori ini lahir dengan semangat egois (selfish). Sebagai contoh di Amerika Serika pada tahun 1989, pendapatan 4 persen orang kaya sama dengan pendapatan 51 persen masyarakat bawah, yaitu lebih dari setengah masyarakat Amerika. Ini artinya bahwa komunitas orang kaya yang diuntungkan oleh sistem ekonomi pertumbuhan yang jumlahnya sangat sedikit tidak memberikan berkah kepada komunitas miskin sehingga dapat menjadi lebih baik secara ekonomi. Bahkan sebaliknya, komunitas miskin lebih bertambah miskin dan bertambah banyak.

Kondisi ini juga terjadi di negara kita, 2.5 persen hingga 4 persen penduduk Indonesia menguasai 60 persen sampai 70 persen total aset nasional. Mereka itu adalah para konglomerat yang paling diuntungkan oleh paradigma ekonomi pertumbuhan ini.

Pasar Bebas dan Liberalisasi Ekonomi

Pasar bebas dan liberalisasi ekonomi merupakan salah satu langkah kerja ekonomi kapitalis neo-klasik. Karena paradigmanya dibangun atas filosofi self-regulating economy. Asumsinya, kepentingan individu dan sosial secara otomatis selalu harmonis. Apabila aku berbuat yang terbaik untuk diriku maka berarti aku juga telah berbuat baik untuk masyarakatku. Ini sebuah keyakinan penuh teori pasar bebas, bahwa pasar bisa mengatur dirinya sendiri karena masing-masing pelaku pasar mempunyai kepentingan yang sama yaitu mendapatkan yang terbaik bagi dirinya.

Akibat kenyakinan ini aturan yang berlaku adalah win-lose kompetisi, atau ada yang menang dan ada yang kalah. Artinya, ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Yang menang dan yang untung mesti siapa yang besar dan kuat. Berlakulah hukum the survival of the finest. Sedangkan yang kalah adalah rakyat lemah dan miskin yang memang tidak mempunyai kemampuan untuk bersaing.

Ekonomi pertumbuhan memang tidak berpihak kepada rakyat yang lemah. Paradigma ini tidak dapat meningkatkan kemampuan rakyat jelata dalam proses pertumbuhan dan pembangunan. Paradigma ini telah meletakkan rakyat jelata menjadi terasing bahkan teraliniasi dari pertumbuhan dan pembangunan ekonomi itu sendiri. Rakyat jelata hanya dipandang sebagi objek pembangunan bukan subjek. Sedangkan subjeknya adalah pertumbuhan itu sendiri.

The Cult Of Effiency

Ekonomi pertumbuhan juga mendewakan efisiensi yang dipahami sebagai syarat mutlak pertumbuhan. Efisiensi di sini diartikan bahwa kita harus memaksimalkan hasil dari faktor-faktor produksi. Dari manusia sebagai pekerja, dari mesin dan organisasi usaha dengan tanpa mempertimbangkan apa yang diproduksi, dibutuhkan atau tidak barang yang diproduksi itu.

Akibat nyata dari pemujaan dan pemahaman efisiensi ini adalah pengangguran. Karena sebuah perusahaan disebut efisien apabila dengan tenaga kerja sedikit dapat memproduksi banyak barang. Inilah yang dikritik pedas oleh Prof. Dr. E.F Schumacher dalam bukunya Small is Beautiful. Menurutnya, lebih baik banyak orang menghasilkan sesuatu dari pada beberapa orang menghasilkan segala sesuatu.

Pendewaan efisiensi seperti juga mengiring kepada the technological imperative, yang berasumsi: apabila sesuatu dapat dikerjakan, maka harus dikerjakan. Sesuatu apabila dapat dibuat, maka pasti dapat dijual. Apabila itu terjual maka berarti baik untuk kita dan untuk ekonomi. Namun, apabila tidak seorang pun maun membeli barang itu maka kita harus membuat kebutuhan terhadap barang itu dengan berbagai cara.

Asumsi ini akhirnya menciptakan masyarakat konsumtif. Mereka mengonsumsi tidak hanya yang mereka butuhkan tetapi juga yang tidak mereka butuhkan, Amerika Serikat adalah masyarakat yang glut consumptive. Menurut data yang ada mereka mengonsumsi 50 persen dari hasil total dunia. Ini membuat kesenjangan yang sangat menyolok. Di pihak lain, jutaan orang-orang Afrika dan Asia dalam keadaan kelaparan.

Ekonomi Keadilan

Firman Allah SWT memerintahkan kita untuk berlaku ‘adl (keadila) dan ihsan (profesional) dalam menjalankan kehidupan ini, termasuk dalam ekonomi. Kedua sifat dasar ini harus selalu berjalan bersama, tidak boleh dipisahkan.

Teori-teori dalam paradigma kapitalis neo-klasik sangat mendewakan ihsan (profesionalisme) dan melupakan ‘adl (keadilan). Sehingga, kegiatan ekonomi kehilangan tujuan. Dalam Islam, aktivitas ekonomi tujuannya adalah menyejahterakan manusia itu sendiri. Sebaliknya dalam aktivitas ekonomi kapitalis noe-klasil manusia adalah salah satu objek eksplorasi untuk keuntungan golongan kecil kapitalis.

Ekonomi Islam sangat mementingkan pertumbuhan tetapi pertumbuhan yang membawa keberkahan bagi semua kelompok masyarakat. Islam juga sangat menganjurkan efesiensi tetapi bukan yang melecehkan manusia yang membutuhkan kerja bukan saja sebagai sarana pendapatan tetapi juga sarana beribadah.

Sebagaimana Islam menghargai semangat kompetisi dalam usaha, tetapi bukan hanya dalam usaha meraih keuntungan materi duniawi, tetapi juga harus diimbangi dengan semangat kompetisi dalam meraih keuntungan hakiki-ukhrowi yang lebih baik dan langgeng.

Itu semua tidak mungkin kecuali keadilan menjadi semangat dalam kebijakan dan aktivitas ekonomi yang ada mewujudkan pemerataan kesempatan dan pendapatan.

Dalam Islam, rakyat harus diangkat derajatnya menjadi sebjek dalam pembangunan, bukan menjadi objek. Ini artinya pemerintah harus mengambil kebijakan pemberdayaan rakyat yang menyeluruh dengan memperbaiki hubungan antara pemerintah dan rakyat, yang kaya dan yang miskin. Rakyat jelata tidak hanya diberi kesempatan tetapi didorong untuk berkembang dan maju.

Rakyat jangan hanya diberi bola tetapi juga harus diberi lapangan dan kesempatan untuk bermain. Itulah ekonomi yang berkeadilan.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top