Biografi KH Hasyim Asy’ari Pendiri Nahdlatul Ulama (NU)

5/27/2017

Tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Dua bulan kemudian, Belanda bersama Sekutu ingin kembali menjajah Indonesia. Mereka mendarat di Surabaya.

Bung Karno, Bung Hatta, dan Jendral Sudirman, saat itu mengirim utusan menghadap KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jawa Timur. Ada apa gerangan? Rupanya mereka menanyakan bagaimana hukumnya mempertahankan tanah air.

Biografi KH Hasyim Asy’ari Pendiri Nahdlatul Ulama (NU)

KH Hasyim Asy’ari kemudian mengumpulkan para kiai dari berbagai pelosok Surabaya. Mereka berdiskusi tentang kedaulatan Republik. Dari pertemuan tersebut keluarlah fatwa bahwa mempertahankan tanah air adalah jihad fi sabilillah. Ia mengistilahkannya dengan “Resolusi Jihad.” Semua warga Surabaya harus berjuang melawan penjajah.

Akhirnya, terjadilah peperangan dahsyat. Empat pesawat tempur sekutu jatuh. Di pihak lain, korban sipil pun berjatuhan.

Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan secara besar-besaran ke wilayah-wilayah Republik. Serangan itu dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I.

Tentara Indonesia yang dibantu laskar-laskar kerakyatan seperti Hisbullah Sabilillah --laskar yang dibentuk KH Hasyim Asy’ari-- tak kuasa menghadapi serangan itu. Kota-kota yang menjadi basis pertahanan Kaum Republik satu persatu jatuh ke tangan Belanda, termasuk Malang.

Ketika kabar jatuhnya kota Malang sampai ke telinga KH Hasyim Asy’ari, ulama kharismatik itu sedang mengajar di serambi masjid pesantrennya, Tebuireng. Kebetulan, pesantren itu sering dijadikan markas para pejuang Indonesia.

Mendengar kota Malang jatuh, KH Hasyim Asy’ari kaget. “Masya Allah, masya Allah, La ilaaha illallah,” katanya berulang-ulang. Ia lalu tak sadarkan diri. Bung Tomo, komandan Barisan Pemberontakan Rakyat, dan seorang utusan Panglima Besar Sudirman yang akan menghadap, tak jadi. Bahkan, pada tanggal 7 Ramadhan 1366 atau 25 Juli 1947, KH Hasyim Asy’ari berpulang ke rahmatullah. Ia wafat dalam usia 76 tahun. Namun berdasarkan perhitungan Hijriah, umurnya mencapai 79 tahun.

Masa Muda KH Hasyim Asy’ari

KH Hasyim Asy’ari lahir di desa Gedang, 2 km sebelah utara kota Jombang pada tanggal 14 Februari 1871, bertepatan dengan 24 Dzulqa’dah 1287 H. Nama kecil beliau Muhammad Hasyim.

Ayahnya, Kiai Asy’ari merupakan pendiri Pesantren Keras (sekarang ini Asy’ariyah), sebuah pesantren di Jombang yang cukup ternama pada masa itu. Ibunya bernama Halimah.

Hasyim adalah putra ketiga dari 11 saudara. Sejak kecil ia tinggal di pesantren Gedang yang diasuh oleh kakeknya, Kiai Usman. Dari garis ibunya, selain keturunan pemimpin agama, Hasyim juga berdarah biru. Darah biru ini, bila ditelusuri sampai pada Joko Tingkir (Mas Krebet) bin Prabu Brawijaya.

Sedangkan dari garis ayahnya, sampai pada keluarga Ahlu Syaiban yang berasal dari para bangsawan Arab yang datang ke Indonesia pada abad ke 4 H untuk menyebarkan Islam ke Asia Selatan dan mendirikan pusat dakwah Islam dan kesultanan. Mereka adalah keturunan Imam Ja’far Shodiq bin Muhammad Baqir.

Sejak muda Hasyim sudah dikenal pandai dan tekun belajar. Pendidikan dasarnya diperoleh melalui bimbingan sang ayah, ia diajarkan ilmu tauhid, fiqih, bahasa Arab, tafsir, dan hadits. Sedemikian cerdasnya, sewaktu berusia 13 tahun, ia sudah membantu sang ayah mengajar para santri yang jauh lebih tua darinya.

Ayahnya kemudian mengirim Hasyim belajar ke sejumlah pesantren. Diantaranya, Pesantren Siwalan, Surabaya, selama lima tahun. Kiai Ya’kub, pemimpin Pesantren Siwalan, menjodohkan Hasyim dengan salah seorang putrinya.

Selang beberapa bulan, setelah pernikahannya, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah melanjutkan pendidikan agama. Namun baru satu tahun tinggal di Mekkah, istri dan anaknya yang baru berusia dua bulan meninggal. Hasyim akhirnya pulang ke tanah kelahirannya di Jombang. Tetapi, setelah tiga bulan ia kembali ke Mekkah dan bermukim di sana selama tujuh tahun.

Saat di Mekkah, Hasyim belajar ilmu-ilmu agama dari sejumlah ulama terkenal. Ulama besar yang paling banyak mempengaruhi dirinya adalah syeh Mahfudh at-Tarmisi (dari Termas, Jawa Timur) yang ahli hadits.

Waktu itu pengaruh gerakan pembaruan yang dimotori Muhammad Abduh di Mesir sudah masuh ke Mekkah. Para mahasiswa Indonesia yang belajar di sana ikut tertarik dengan gerakan ini.

Saat itu, orang yang menjadi imam Masjidil Haram adalah Syeh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Ia juga guru besar terkenal di Mekkah dan banyak mengajar mahasiswa asal Indonesia. Beberapa muridnya antara lain KH Hsyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syamsuri, dan KH Ahmad Dahlan.

Syeh Ahmad Khatib sendiri sebenarnya ulama kontroversial. Di satu sisi, ia tak setuju dengan pemikiran Muhammad Abduh yang menganjurkan umat Islam melepaskan diri dari anutan-anutan mazhab yang empat. Di sisi lain, ia menyetujui gerakan untuk melenyapkan segala bentuk praktik tarekat.

Sementara Hasyim, yang banyak dipengaruhi oleh jalan piikiran Syeh Mahfudh at-Tarmisi, Syeh Nawawi, dan Syeh Sambas, tidak setuju dengan sikap Syeh Ahmad Khatib, tetapi juga tak terpengaruh dengan ide-ide pembaruan Muhammad Abduh. Ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab dan pentingnya praktik-praktik tarekat.

Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam hal bermazhab, misalnya, Hasyim berkeyakinan tak mungkin orang dapat memahami maksud dari ajaran al-Qur’an dan Hadits tanpa mempelajari pendapat-pendapat ulama besar yang tergabung dalam pelbagai mazhab. Ia juga berpandangan, menafsirkan al-Qur’an dan Hadits, tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku ulama, hanya akan memutarbalikan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.

Sepulang dari Mekkah, Hasyim segera mengabdikan ilmunya untuk kepentingan umat. Mulanya, ia hanya membantu mengajar di Pesantren ayahnya di Gedang, Jawa Timur. Namun, ia merasa tak leluasa mengembangkan ilmu yang didapatnya di Mekkah. Hasyim kemudian berusaha mendirikan pesantren sendiri. Maka pada 26 Rabiul Awal bertepatan dengan tahun 1899 M, ia mulai merintis berdirinya pesantren yang diberi nama Tebuireng, di Jombang, Jawa Timur.

Selain pendidik, Hasyim juga seorang ulama besar. Pengerahuannya tentang agama (khususnya kitab Bukhari Muslim) sangat mendalam. Beliau menjadi tempat bertanya, tak hanya bagi para santri, tapi juga para ulama lainnya.

Mendirikan Nadlatul Ulama (NU)

Pada tahun 1920, ketika surabya masih mennjadi basis Islam tradisional, paham-paham modernis yang dibawa oleh aktivis Muhammadiyah dan Persis masuk. Ini tentu memancing reaksi kalangan tradisionalis. Sejak saat itulah pergesekan antara Muhammadiyah dan kaum tradisionalis tidak terelakkan.

Sejak Muhammadiyah berdiri tahun 1912 sampai meninggalnya KH Ahmad Dahlan seringkali terjadi perdebatan antara kiai-kiai pimpinan pesantren dan para ulama pendukung gerakan Muhammdiyah mengenail berbagai hal. Wadah perdebatan yang paling utama bernama “Taswirul Afkar” yang didirikan tahun 1914 di Surabaya. Pimpinannya, KH Wahab Hasbullah dari kalangan tradisionalis dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah.

Sadar bahwa gerakan pembaruan begitu gencarnya dilakukan kalangan Islam modernis, pada tahun 1926, KH Hasyim, Bisri Sjamsuri, Kiai Ridwan, KH Asnawi, dan beberapa ulama lain, yang dimotori KH Wahab Hasbullah membentuk ikatan bernama komite Hijaz.

Pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926, mereka berkumpul di Surabaya. Mereka membuat sebuah keputusan, yakni membentuk sebuah organisasi bernama Nadlatul Ulama (NU) yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini bertujuan menegakkan syariat Islam yang berhaluan kepada salah satu mazhab yang empat. Jam’iyah disusun dengan kepengurusan syuriah dan tanfidziyah.

KH Hasyim Asy’ari dalam susunan pengurus hasil muktamar pertama NU tahun 1926 menempati posisi sebagai Rais Akbar di Dewan Syuriah, di dampingi oleh wakil rais KH Achmad Dahlan. Sedangkan Khatib Syuriah (semacam sekjen) adalah KH Wahab Hasbullah. Dengan demikian KH Hasyim Asy’ari adalah “Bapak Pendiri NU”, di samping KH wahab Hasbullah dan beberapa ulama lainnya yang telibat.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top