Kotoran sapi ternyata bisa dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar pengganti elpiji dan minyak tanah. Caranya, kotoran sapi ini diolah terlebih dahulu menjadi biogas. Nah, biogas inilah yang bisa berfungsi sebagai bahan bakar untuk memasak karena sifatnya yang mudah terbakar.
Menurut dosen Teknologi Hasil Ternak Institut Pertanian Bogor (THT_IPB). Biogas memiliki keunggulan dibanding bahan bakar lain. Diantanranya karena biaya pengadaannya yang relatif murah dan proses pengolahannya pun sangat sederhana.
Sebenarnya, bahan baku untuk menghasilkan biogas bukan hanya kotoran sapi, tapi juga limbah pertanian, peternakan, dan rumah tangga yang mudah membusuk. Bahan organik ini, jika difermentasikan dalam keadaan tanpa udara dalam sebuah bangunan pengolah (digester) akan menghasilkan gas methan (CH4) yang membuat api menyala. Namun dari banyaknya limbah yang ada tersebut, yang sering dipakai oleh masyarakat adalah kotoran sapi.
Cara membuatnya, kotoran sapi dicampur dengan air, lalu dimasukkan ke tempat penampungan untuk dibusukkan hingga menimbulkan gas. Setelah itu, gas ditampung dalam wadah yang kedap udara berkapasitas 5 ribu liter, baru kemudian disalurkan ke kompor untuk memasak. Proses ini akan berlangsung terus-menerus sepanjang terdapat pasokan kotoran sapi.
Menurut Sri Wahyuni, salah satu anggota tim proyek biogas THT-IPB untuk peternak sapi di Kebos Pedes, Bogor, gas bio lebih unggul dibanding gas elpiji. Sebab api yang dihasilkan oleh gas bio berwarna biru dan tidak mengeluarkan asap layaknya elpiji.
Hasil penelitian THT-IPB menunjukkan, kebutuhan keluarga dengan anggota 5 orang terhadap biogas yang digunakan untuk memasak adalah 4 ekor ternak sapi dengan perhitungan perolehan kotoran ternak sejumlah 60 kg/hari. Sedangkan, gas yang dihasilkan dari 60 kilogram kotoran sapi dapat digunakan untuk memanaskan kompor selama 6 jam. Seekor sapi dapat menghasilkan kotoran sekitar 15 kilogram setiap hari. Berarti empat ekor sapi sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan energi sebuah dapur.
Untuk membuat bahan bakar alternatif ini dibutuhkan biaya sekitar Rp 5 juta untuk setiap unit reaktor, termasuk satu buah kompor dan selang sepanjang 20 meter. “Sepintas memang mahal. Namun, sekali berdiri, alat ini dapat dipergunakan dan mampu menghasilkan biogas selama bertahun-tahun.”
Di luar negeri, teknologi biogas sudah lama dikembangkan. Paling tidak, ada dua tipe alat pembangkit biogas yang dikenal, yaitu tipe terapung (floating type) dan kubah tetap (fixed dome type).
Tipe terapung dikembangkan di India, terdiri atas sumur pencerna dan di atasnya ditaruh drum terapung dari besi terbalik yang berfungsi untuk menampung gas yang dihasilkan oleh pembangkit biogas. Sumur dibangun dengan menggunakan bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membuat pondasi rumah, seperti pasir, batu bata, dan semen. Sedangkan tipe kubah dibangun dengan menggali tanah, kemudian ditembok dengan bata, pasir dan semen. Jadi bentuknya seperti rongga yang kedap udara dan berstruktur seperti kubah (bulatan setengah bola). Tipe ini juga sudah dikembangkan di China.
« Prev Post
Next Post »