Pengelolaan Wakaf Untuk Keadilan Sosial - Sejumlah literatur fikih menegaskan bahwa wakaf memang harus diarahkan untuk merealisir keadilan sosial, bukan sekedar ibadah untuk murni sebagaimana dipahami banyak orang selama ini. Rujukan utamanya adalah pernyataan Rasulullah saw kepada Umar bin Khattab yang menceritakan status tanahnya di wilayah Khaybar, “Kalau engkau mau, tahan kapitalnya, dan sedekahkan hasilnya,” begitu ungkap Nabi Muhammad.
Keadilan sosial memang merupakan doktrin Islam yang dominan. Dalam sejarah Islam, wakaf tak jarang digunakan untuk merealisir keadilan ekonomi, pendidikan, kesehatan, bahkan keadilan politik. Maka tak heran apabila undang-undang wakaf di Indonesia pun menyebutkan bahwa wakaf berfungsi untuk pencapaian keadilan sosial, paling tidak keadilan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Namun, dalam prakteknya hingga saat ini, wakaf di Indonesia umumnya baru diarahkan untuk kepentingan ibadah murni. Memang ada beberapa lembaga yang berupaya mengarahkan wakaf demi keadilan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Tetapi jumlahnya masih sangat sedikit. Bahkan, boleh dibilang, diantara lembaga yang ada tersebut belum ada satu pun lembaga yang mengarahkan penggunaan wakaf untuk merealisir keadilan politik.
Faktor penyebabnya banyak. Antara lain faktor manajemen, mulai dari penggalangan harta wakaf hingga distribusinya. Juga pandangan fikih tradisional, khususnya di kalangan para pemberi wakaf (wakif) itu sendiri, yang lebih menginginkan harta wakafnya dimanfaatkan untuk ibadah murni. Masalah ketidakadilan struktural agaknya belum dirujuk, mungkin karena terkait risiko-risiko politik yang akan didapatkan kelembagaan wakaf.
Padahal, profesionalitas dan manajemen modern sebenarnya sejalan dengan Islam. Hal ini antara lain karena profesionalitas yang meniscayakan adanya keahlian dan keterampilan bagi seorang nazhir sangat dikehendaki Islam. Demikian juga dengan prinsip-prinsip manajemen modern, baik fungsinya maupun manajemen operasional dan juga keahlian-keahlian manajerial yang harus dimiliki seorang nazhir, juga sejalan dengan Islam.
Sayangnya, wakaf di Indonesia pada umumnya masih dikelola oleh orang-orang (para nazhir) yang tidak jelas statud, tugas dan kewajibannya, serta banyak dirangkap oleh takmir masjid. Meskipun demikian, jika kemampuan manajemen nazhir perorangan dan lembaga (organisasi dan badan hukum) dibandingkan, maka nazhir yang dikelola dalam bentuk lembaga lebih baik dan lebih efektif.
Sebenarnya undang-undang wakaf tahun 2004 telah memperkenalkan dan mendorong manajemen wakaf yang baik. Dalam undang-undang tersebut mengakui adanya benda bergerak seperti wakaf uang. Di samping mengakui nazhir swasta, ia juga memperkenalkan kelembagaan nazhir nasional BWI (Badan Wakaf Indonesia) yang berfungsi sebagai eksekutor dan regulator. UU tersebut menekankan manajemen pengembangan wakaf lewat investasi, serta membolehkan penukaran serta perubahan wakaf untuk kemaslahatan yang lebih baik, setelah mendapatkan izin dari BWI.
Akan tetapi nyatanya, manajemen wakaf secara umum masih lemah. Menurut buku yang diterbitkan Departemen Agama, tanah wakaf yang sudah memiliki setifikat berjumlah 75%. Tetapi menurut Imam Suhadi yang meneliti di tahun 1993, tanah wakaf yang sudah bersertifikat cuma sekitar 31.82%. Di lain pihak, tanah wakaf di Indonesia umumnya hanya lahan sempit (seluas kurang lebih 200 m2). Adapun harta wakaf tidak bergerak lainnya serta harta wakaf bergerak yang dimiliki nazhir wakaf seluruh Indonesia, masih sulit ditemukan datanya yang akurat.
Agar pengelolaan wakaf dalam praktek dapat mengarah pada keadilan sosial, maka perlu dilakukan sosialisasi wakaf. Untuk itu, sebagai bentuk proses penyadaran, perlu dilakukan upaya pemberdayaan seperti lewat pelatihan dan pembenahan manajemen pengelolaan dari mulai rekruitmen, pengembangan harta wakat untuk sektor produktif, dan hingga distribusinya. Juga perlu dilakukan inventarisasi dan pensertifikatan tanah wakaf yang belum memiliki sertifikat, dan itu harus dilakukan secara serius tanpa dikenakan biaya (ditanggung oleh pemerintah).
Kiranya sangat mendesak dilakukannya pembenahan manajemen wakaf. Langkah awalnya adalah dengan menunjuk konsultan pengelolaan. Selanjutnya, di antara tugas yang harus dilakukan nazhir adalah melakukan pendekatan ke calon wakif prospektif; menerbitkan sebuah kartu anggota yang berfungsi sebagai ATM, memaksimalkan mailing list, melakukan kampanye lewat brosur, banner, stiker, media cetak dan elektronik; melakukan kerjasama dengan perusahaan; mendorong pemerintah dan DPR untuk memberlakukan pengurangan pajak kepada wakif perorangan dan perusahaan.
Guna mengembangkan harta wakaf untuk sektor produktif, jika investasi langsung dipilih, maka model musyarakah, medharabah, murabahah dan bai’ bit saman ‘ajil bisa menjadi alternatif. Namun demikian yang paing menjanjikan adalah model murabahah sebagai sektor bisnis yang paling banyak dipilih perbankan syariah. Jika perlu, penukaran dan perubahan peruntukan wakaf pun , setelah mendapat izin BWI, bisa dilakukan. Adapun distribusinya, hendaknya ditekankan pada pendidikan, beasiswa, kesehatan, peningkatan ekomoni, dan keadilan politik, khususnya advokasi dan investasi sosial lainnya.
« Prev Post
Next Post »