Mewujudkan Kebahagian Yang Hakiki

Pandangan tentang kebahagian tidaklah sama. Perbedaan ini pada dasarnya mengacu pada perbedaan pandangan tentang hakekat tabiat manusia, kebutuhan asasinya untuk kehidupan dunia dan akhirat dan corak hidup yang diyakininya. Untuk itulah mengapa manusia dalam menggapai kebahagiaan terbagi dalam beberapa aliran:

Mewujudkan Kebahagian Hakiki

Pertama, aliran kaum spiritual. Aliran ini terdiri dari kaum filosof dan sufi yang berpendapat bahwa kebahagiaan sejati pada dasarnya terletak dalam kehidupan spiritual. Setiap kali manusia mengalami kemajuan dalam spiritual bathiniyah, akan bertambahlah kebahagiaanya. Sehingga, menurut aliran ini, manusia harus senantiasa mengontrol batinnya untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya. Demikian pula, manusia harus menata batinnya agar senantiasa tenang dan tentram.

Kedua, aliran kaum materialistik naturalis. Aliran ini berpendapat bahwa kebahagiaan asasi terletak dalam kehidupan material. Menurut mereka, setiap kali manusia tenggelam dalam kehidupan material, memenuhi semua kebutuhan materialnya, maka bertambahlah kebahagiaannya. Tentu, aliran ini berseberangan dengan aliran spiritual. Semua yang berbau materi, menurut aliran ini, adalah faktor utama yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan yang mereka capai.

Ketiga, aliran rasionalis. Aliran ini berpendapat bahwa kebahagiaan sejati terletak dalam kehidupan rasional, ilmiah. Setiap kali manusia melangkah maju dalam kehidupan rasional, seperti hikmah, ma’rifah dan pengetahuan yang luas tentang kebenaran, bertambah kebahagiaannya. Maka, aliran ini menganjurkan kepada setiap manusia untuk memperbanyak ilmu agar hidup ini manusia bisa membaca keadaan.

Keempat, aliran Islam. Aliran ini berpendapat bahwa kebahagiaan akan terwujud apabila manusia memadukan ragam kehidupan; kehidupan spiritual, kehidupan material dan kehidupan rasional. Ketiga kehidupan tersebut haruslah berada dalam naungan sinar aqidah dan nilai-nilai Islami. Barulah manusia akan merasakan kebahagiaan hakiki. Islam memuat seluruh kehidupan secara universal. Spiritual adalah hal yang penting dalam hidup, namun demikian tidak boleh melupakan materi dalam hidup di dunia ini.

Pada hakekatnya kebahagian adalah perasaan tenang, tentram dan gembira yang berkesinambungan. Perasaan bahagia lahir sebagai akibat dari perasaan abadi terhadap kebajikan hidup dan kebajikan perjalanan hidup. Hal ini terjadi karena fitrah manusia sangat menyukai kebaikan ataupun kebajikan. Sebaliknya, hal yang buruk dan jelek sangatlah dibenci oleh setiap fitrah manusia. Maka dari itulah kebahagiaan ini tak akan terwujud kecuali dengan beberapa syarat berikut ini:

Pertama; seluruh niat/motif dan tujuan manusia dalam hidup harus baik. Sebab orang yang berniat buruk atau menginginkan kejahatan tak mungkin dia merasa orang baik. Bahkan niat buruk ini akan menyadarkannya bahwa ia bukan orang baik-baik. Perasaan seperti itu akan mengotori kebersihan diri, menambah duka, dadanya terasa sesak, selalu bimbang karena khawatir perjalanan hidupnya yang buruk akan tersingkap dan diketahui khalayak ramai. Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 45: “Dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”

Dalam hal ini, sekelompok dokter mengatakan bahwa agar urat syaraf dan tubuh kita sehat, kita harus melatih otak kita untuk berfikir sehat dan bersih. Dengan demikian kita harus menghindari pikiran kotor. Sebab pikiran-pikiran jahat yang kotor akan melemahkan dan merusak otak, bahkan mengakibatkan gila.

Kedua; Menahan diri dari segala bentuk kejahatan. Sebab berkehendak untuk berbuat jahat saja sudah ada pengaruhnya terhadap orang yang berkehendak tadi. Maka berbuat kejahatan tentu lebih berbahaya. Belum lagi kalau kita bicarakan pandangan ilmuwan tentang bagaimana pengaruh dosa karena perbuatan jahat atas diri perilakunya. Plato misalnya, mengatakan, “Orang yang hina akan hancur, karena dia berbuat jahat.” Karena itu Rasulullah bersabda: “Kebahagiaan tidak akan pernah sirna, dosa tak akan pernah mati. Maka berbuatlah engkau sekehendakmu, dan sebagaimana engkau berbuat engkau akan dibalas.”

Ketiga; Mengerjakan kebaikan dengan niat yang baik. Sebab manusia tak akan pernah merasakan kebaikan dirinya kecuali bila dia melakukan kebaikan dengan niat yang baik pula, selalu berusaha semaksimal mungkin untuk berbuat kebajikan di setiap tempat dalam kondisi apapun. Pada saat itu ada tiga faktor pendukung yang memberinya rasa kebaikan. Pertama, perasaan dirinya sendiri. Kedua, penghormatan orang lain kepadanya kala mereka membalas kebaikannya dengan pergaulan yang baik, karena ia berbuat baik kepada mereka. Dan ketiga, bahwa Alllah akan memudahkan urusannya, memberinya kehidupan yang sarat dengan kebaikan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 97: “Barangsiapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”

Keempat; Segala pekerjaan seseorang hendaknya sesuai dengan apa yang diyakininya, atau tidak bertentangan dengan keyakinannya seminimal mungkin. Sebab apabila kehidupan praktis seseorang bertentangan dengan keyakinannya, maka dalam dirinya akan terjadi konflik yang ditimbulkan oleh perasaan yang diyakininya. Karena itu para filosof dan ahli jiwa member nasehat agar ada keselarasan antara perbuatan dan tujuan dengan norma-norma yang diyakininya. Plato misalnya mengatakan, “Jiwa seseorang akan mendapatkan ketentraman dan kekuatan dahsyat manakala selaras dengan perasaan dan perbuatannya dan jiwa pun akan bahagia. Jiwa tidak boleh menerima beban pikiran atau terperangkap dalam perbuatan dholim terhadap hak Tuhan atau hak manusia.” Karena itulah Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 69: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan beramal sholeh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka sedih.”

Seorang psikolog terkemuka, Freud mengakui kenyataan tadi dengan mengatakan, “Perasaan berdosa jauh lebih berbahaya dari penyakit jiwa yang sudah dikenal. Perasaan ini merupakan penyebab utama timbulnya rasa malu, kurang percaya diri, bimbang, takut, merasa dungu, merasa hina, rendah hati, selalu curiga dan selamanya dalam ketakutan.”

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top