Haji Agus Salim - Seorang Yang Cerdas, Tegar dan Sederhana

1/14/2015

Presiden pertama RI, Soekarno, pernah menyebutkan ada tiga aliran ideology yang mendasari gerakan kemerdekaan Indonesia: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Ketiga aliran ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan Nasakom.

Namun Haji Agus Salim, pejuang kemerdekaan nasiona, berpendapat lain. Ia tak butuh Marxisme. Ia hanya butuh nasionalisme dan islamisme. Islam dipilih karena bersifat universal. Sedangkan nasionalisme, sesuai dengan apa yang dikemukakan Jong Islamieten Bond, sebuah organisasi kaum muda idealis, yaitu melaksanakan ajaran Islam secara penuh kesadaran. “Kesadaran kepada ajaran Islam-lah yang membuat cita-cita Indonesia merdeka akan tercapai,” kata Agus (Hei Licht 1925-1926).

Haji Agus Salim - Seorang Yang Cerdas, Tegar dan Sederhana

Penolakan Agus terhadap Marxisme membuat ia berseberangan dengan Soekarno. Perdebatan di masa pra-kemerdekaan bahkan memakan waktu panjang. Termasuk saat Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) merumuskan materi Pancasila. Kebetulan, Agus termasuk satu dari tujuh anggota BPUPKI.

Agus setuju dengan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Namun dengan catatan tidak menghilangkan sebtansi tujuh kata yang kini sudah dihilangkan pada sila pertama Pancasila.

Nama Agus Salim sesungguhnya bukanlah nama asli tokoh yang hidup pada kurun waktu 1884-1954 ini. Nama aslinya adalah Masyhudul Haq yang artinya “pembela kebenaran.” Ia lahir di kota Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 8 Oktober 1884. Ia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya bernama Sutan Muhammad Salim, bekerja sebagai jaksa selama 50 tahun di Padang. Agus memang lahir dari keluarga terpandang dan terpelajar. Jadi, sekolah bukanlah hal yang sulit bagi Agus meskipun ia pribumi.

Ketika masih kecil Agus sekolah di ELS (Europesches Lagere School) kota Gadang. Setelah lulus tahun 1898, melanjutkan ke HBS (Hoegere Burger School) di Jakarta. Sekolah ini setingkat dengan SMU pada masa sekarang namun harus diselesaikan selama enam tahun.

Di Jakarta, Agus tinggal di rumah keluarga Belanda, Prof TH Kock. Di rumah inilah nama Masyhudul Haq berubah menjadi Agus Salim. Ceritanya berawal dari kebiasaan pelayan rumah orang-orang Belanda di tanah Jawa memanggil anak majikannya dengan sebutan “Gus” yang artinya putra yang bagus. Panggilan ini juga ditujukan kepada Agus. Lama kelamaan semua orang di rumah Prof TH Kock menambahkan huruf “A” pada kata “Gus”, sehingga menjadi “Agus”. Masyhudul Haq tidak keberatan dengan nama itu asal nama ayahnya Salim ditambah dibelakang nama Agus. Sejak saat itu ia dipanggil Agus. Sejak teman-temannya di sekolah juga memanggil Agus Salim.

Agus tergolong anak cerdas. Ia mampu menyelesaikan HBS dalam waktu lima tahun, padahal seharusnya enam tahun. Kecerdasan itulah yang membuat Pemerintah Belanda menawarinya melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda.

Perihal beasiswa ke Belanda ini, semula ditawarkan kepada RA Kartini, anak bupati Jepara. Namun, karena Kartini waktu itu akan menikah, sementara adat Jawa tidak memungkinkan seorang perempuan bersekolah tinggi, maka Kartini meminta kepada Ny Abendanon, istri pejabat pemerintah Belanda, untuk mengalihkannya kepada Agus.

Dalam sebuah suratnya, RA Kartini menulis, “Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda. Ia bernama Salim. Dia anak dari Sumatera. Tahun ini ia menghabiskan Sekolah Menengah HBS dengan predikat lulusan terbaik di Jakarta, Surabaya dan Semarang. Anak muda itu ingin sekali melanjutkan sekolah ke negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Namun gaji ayahnya cuma 150 pounsterling sebulan.” (dikutip dari buku Seratus Tahun Agus Salim).

Pemerintah Belanda mengabulkan permintaan RA Kartini, namun Agus menolaknya. Alasan Agus sederhana saja. Pemberian beasiswa itu bukan karena penghargaan atas kecerdasannya, melainkan karena ia punya status social yang lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan.

Agus kemudian memilih bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi, pada tahun 1906. Di negeri kilang minyak itu, Agus berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram. Dari syekh inilah Agus banyak belajar Islam, termasuk belajar tujuh bahasa Asing: Arab, Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Turki, dan Jepang.

Sepulang dari Jeddah tahun 1911, semangat perjuangan Agus mulai berkobar. Ia bergabung dengan Syarikat Islam (SI) pimpinan HOS Cokroaminoto pada tahun 1915. Bahkan sempat memimpin organisasi itu. ia juga pernah memimpin Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Di partai kontestan pemilu 1955 itu Agus banyak melakukan perubahan. Di depan kongres PSII Yogyakarta 24-27 Januari 1930, misalnya, Agus mereformasi struktur, visi dan misi partai.

Pada konferensi Geneve-Belanda Mei-Juni 1929, Agus dipercaya mewakili kaum buruh Indonesia untuk menyampaikan pendapatnya. Dengan lantang Agus berkata tentang sistem kerja paksa (heerendienst), hokum adat, hokum islam, hokum perkawinan, dan masalah ekonomi di Indonesia. “Indonesia harus menjadi tuan di tanah air sendiri,” kata Agus kala itu.

Karena postur tubuhnya yang kecil, Agus Salim diberi julukan The Grand Old Man oleh para diplomat. Julukan itu pertanda pengakuan atas diplomasinya yang baik.

Agus sempat diangkat sebagai hoofdredacteur (semacam pimpinan redaksi) pada surat kabar Hindia Baru milik Pemerintahan Belanda. Tugas pokok Agus adalah mengisi tajuk rencana dan rubrik Mimbar Jumat. Tawaran tersebut ia terima dengan syarat diberi kebebasan menulis apa saja. Di bawah kepemimpinan Agus, harian Hindia Baru menjadi independen, tidak berpihak kepada pemerintah Belanda atau kepentingan partai politiknya.

Sebagai pejuang, Agus Salim dikenal sebagai sosok yang sangat sederhana. Rumah yang ditempatinya, baik di Surabaya, Jakarta, maupun Yogyakarta, selalu berstatus kontrakan. Ini membuat dia lebih dinamis. Bahkan di rumah-rumah itu, Agus masih sempat mengajari anak-anaknya banyak hal. Semua anaknya - kecuali si bungsu - tak menempuh pendidikan formal buatan colonial Belanda. Ia lebih suka mendidik anak-anaknya sendiri. “Saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan colonial,” kata Agus.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top