Jabatan bukan kemewahan. Jabatan justru amanah dan tanggung jawab besar sebagai imam. Karena itu, jabatan butuh pengorbanan sejati. Hal ini disadari benar oleh Umar bin Abdul Aziz.
Pimpinan seringkali menjadi rebutan manusia. Namun bagi Umar, jabatan sebagai pemimpin adalah musibah. Saat jabatan tertinggi negara diamanahkan kepadanya, seketika ia berucap Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Umar bin Abdul Aziz hidup pada abad ke-7. Ia tumbuh sebagai tokoh zuhud pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Dinasti Umayyah mulai memerintah pada tahun 40 H atau 661 M. Pendirinya adalah Muawiyah putera Abu Sofyan, pemimpin Mekkah. Abu Sofyan sendiri pada awalnya menentang Rasulullah SAW. Namun, ia masuk Islam setelah kota Mekkah ditaklukkan Madinah.
Umar bin Abdul Aziz menerima tongkat kepemimpinan Dinasti Umayyah setelah Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik lengser. Penyerahan kekuasaan dilakukan melalui surat wasiat yang dibacakan di depan umum. Umar, yang semula menjadi gubernur Madinah, akhirnya menerima jabatan tersebut. Namun, ia menganggapnya sebagai musibah.
Umar bin Abdul Aziz terkenal sebagai khalifah yang adil dan jujur. Sifat mulianya sangat mirip dengan kemuliaan Umar bin Khattab, kakek dari ibunya.
Bagi Umar, semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin besar pula tanggung jawabnya di depan Allah SWT. Ia harus peka terhadap kepentingan umat. Pemimpin juga harus peduli terhadap keluh kesah rakyatnya. Jabatan pemimpin adalah pemberian rakyat atas izin Allah. Sedangkan antara rakyat dan Allah tak ada tabir penghalang. Rakyat setiap saat bebas mengadukan segala kabaikan atau kejelekan pemimpin mereka kepada Allah.
Kebesaran jiwa Umar bin Abdul Aziz tergambar jelas pada pidato pelantikannya sebagai khalifah. Katanya, “Sekarang tiba giliranku untuk berkuasa. Aku berniat merombak semua tata cara tak terpuji dari pendahuluku. Aku yakinkan kalian, tak boleh ada yang taat kepada makhluk yang maksiat kepada Khalik. Jadi, taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah. Jika aku durhaka kepada Allah, tak ada keharusan bagi kalian untuk taat kepadaku.”
Langkah memperbaiki negara, seperti yang dikatakan dalam pidato tadi, dimulai dengan islahun nafs, yaitu membenahi diri sendiri. Dulu, saat Umar menjadi gubernur Madinah. Ia terkenal sebagai pesolek. Namun, begitu diangkat menjadi raja, Umar menanggalkan segala kemewahan dan kebiasaan tersebut. Umar menjelma menjadi raja yang amat sederhana. Ia menyerahkan segala kekayaan berupa gedung, tanah, kebun, untuk kas negara. Istri Umar, atas anjurannya, juga menyerahkan uang, emas dan permata untuk kepentingan negara.
Akibat kezuhudan ini, banyak pengawal istana yang dulunya leluasa melakukan kecurangan, tak lagi merasa nyaman. Mereka tak bisa lagi memperoleh harta dengan cara menipu. Beberapa di antara mereka mencoba protes. Umar merespon protes ini dengan mengatakan, “Aku dulu dilahirkan ke dunia sendirian dan akan kembali ke akhirat sendirian. Aku mempertanggungjawabkan amalan-amalanku di depan mahkamah Allah sendirian. Bagaimana pula aku harus membela nasib para ajudan dan pengawalku kelak?”
Terhadap harta keluarga dan para kerabat. Umar bin Abdul Aziz juga sangat berhati-hati. Kepada tokoh-tokoh masyarakat, Umar mengatakan, “Khalifah-khalifah sebelum aku telah memberikan harta benda kepada anak-anak, kerabat, dan kolega-kolega mereka. Sesungguhnya harta benda itu tidak patut diwariskan atau dihibahkan. Sebab, sumber perolehannya tidak adil dan tidak hak. Oleh karena itu, kuputuskan semua harta tersebut diambil alih oleh hakim untuk diteliti asal-usulnya. Jika diketahui hasil rampasan, kembalikanlah kepada pemiliknya yang sah. Yang merupakan hadiah, masukkan ke kas negara. Kekayaan menjadi batal kepemilikannya bagi seorang pejabat yang berasal dari hadiah.”
Umar bin Abdul Aziz tak hanya membersihkan harta diri dan kekhalifahan dari yang bukan hak. Ia juga membersihkan harta kerabat istana. Semua kekayaan negara yang bertujuan memfasilitasi kerabat istana ia sita. Demikian juga tanah-tanah yang luas. Padahal, sejak Muawiyah naik tahta hingga Sulaiman bin Abdul Malik berkuasa, banyak kaum kerabat istana yang memperkaya diri dengan fasilitas istana.
“Kaum kerabat khalifah tidak pantas menguasai tanah-tanah dan sumber penghasilan besar sementara rakyat lebih membutuhkannya. Hal tersebut akan memperlebar jurang pemisah antara elit politik dengan rakyat.”
Katanya.
Akibat tindakan itu, banyak kaum kerabat yang mencela Umar. Namun, pemimpin sejati ini tetap bersikukuh dengan sikapnya. Kepada mereka Umar malah mengingatkan bunyi al-Qur’an surat Yunus ayat 15, inni akhafu Rabbi adzaba yaumin adzim. “Aku takut mendapat durhaka kepada Allah, takut mendapat adzab pada hari agung.”
Kata Umar.
Kaum kerabat semakin kesal dengan tindakan ini. Pada kekhalifahan sebelumnya, hidup kerabat raja selalu makmur dan kaya raya. Namun kerabat Umar sebaliknya. Bisnis mereka dibatasi. Tindak tanduk mereka diperhatikan. Akibatnya, Umar dijuluki sebagai raja yang zalim oleh kerabatnya sendiri.
Mendengar tuduhan tersebut, Umar bin Abdul Aziz hanya berkata:
“Jika aku disebut zalim karena melarang kaum kerabatku berbisnis dengan berlindung di balik kedudukanku sebagai khalifah, insya Allah, aku termsuk orang mulia di hadapan Allah."
"Jika aku memihak kaum kafir miskin dan membatasi eksploitasi ekonomi dan politik kaum konglomerat, insya Allah, aku berada pada barisan para nabi, para syuhada, para shadiqin, dan terhindar dari godaan setan yang terkutuk."
"Jika aku disebut zalim karena membasmi nepotisme, mengembalikan sesuatu pada tempatnya, dan mengikis habis kolusi, insya Allah, aku termasuk orang yang menegakkan keadilan dan kebenaran semata-mata karena Allah, bukan karena jabatan dan bukan karena dukungan kaum kerabat."
"Umat adalah tanggung jawabku. Sedangkan kalian hanya sebagian kecil dari umatku yang harus kupertanggung jawabkan pula. Oleh karena itu aku meminta kalian menjauhi perkara yang akan memberatkanku dan memberatkan tanggung jawab kalian sendiri.”
Pejabat tak Boleh Berbisnis
Umar bin abdul Aziz sangat memperhatikan keadilan berusaha bagi rakyatnya. Ia melarang kerabat istana terlibat dalam hal bisnis. Sebab, jabatan dan kekerabatan tersebut akan memberi kemudahan. Ini menjdai tidak adil. Pebisnis sekaligus pejabat yang kaya akan semakin kaya, sedangkan rakyat semakin miskin.
Umar tak segan-segan melakukan teguran kepada pejabat yang diketahui melakukan tindakan kasar kepada rakyat. Gubernur khurasan misalnya, selama ini membekali tentaranya dengan pedang dan cemeti untuk mengumpulkan pajak. Umar pun melarang hal itu dilanjutkan. “Rakyat akan baik jika diperlakukan secara adil dan benar. Rakyat Anda membangkang justru karena Anda menghadapi mereka dengan kekuatan senjata. Padahal, Anda tahun, pasukan dan senjata itu dibeli dari uang rakyat.” Katanya.
Umar juga menulis surat kepada semua gubernur di daerah, isinya, “Aku berpendapat, seorang pejabat negara tidak pantas terlibat urusan perdagangan. Bahkan tidak halal sama sekali. Secara logika saja jika seorang pejabat berbisnis, ia akan mudah melakukan monopoli. Ini akan merusak sendi-sendi ekonomi negara yang harus bertumpu pada kejujuran dan keadilan. Sekalipun ia berusaha keras menjaga agar tidak terjadi monopoli, kolusi dan kronisme, tetap saja hal itu akan timbul jika ia terlibat urusan bisnis, langsung atau tidak langsung.”
Untunglah ketegasan Umar bin Abdul Aziz menegakkan prinsip pemerintahan yang bersih dan berwibawa mendapat dukungan penuh dari istri dan anak-anaknya. Salah seorang anaknya selalu mengingatkan ayahnya akan kewajiban selaku pemimpin. “Wahai ayahku, wahai Amirul Mukminin, bagaimana kelak Anda berdiri di hadapan Allah SWT, sementara keadilan tidak Anda tegakkan dan kebatilan tidak Anda basmi?”
kata anaknya.
Umar pun menjawab, “Semoga Allah memberiku kekuatan agar mampu mengisi hari-hari sejak terbit fajar hingga malam datang dengan amar ma’ruf nahi munkar dan jihad fi sabilillah, dan aku tetap dalam keadaan begitu hingga maut menjemput.”
« Prev Post
Next Post »