Apa jadinya sastra Indonesia tanpa Hans Begeau (HB) Jassin. Ia begitu tekun penyimpan tulisan para sastrawan. Mulai dari surat, kop surat, naskah, baik yang belum terbit, maupun yang sudah menjadi buku. Jassin merawat sekaligus menyusun dokumen-dokumen itu dengan penuh kasih sayang. Laksana seorang ibu kepada anak-anaknya. PDS HB Jassin merupakan bukti nyata ketekunan dan kasih sayangnya.
HB Jassin mulai mengoleksi majalah-majalah sejak zaman Belanda, antara lain Majalah Pujangga Baru, Panji Pustaka, dan sejumlah surat kabar. Buku-buku terbitan Balai Pustaka juga ikut dikumpulkannya. Sedangkan pada zaman Jepang, ia mengumpulkan Majalah Jawa Baru, Kebudayaan Baru, dan kliping Koran Asia Raya.
Setelah Indonesia merdeka, kian banyak surat kabar, buku, dan majalah yang dikumpulkannya. Puncaknya di tahun 60-an, ketika sebagian besar surat kabar memiliki kolom renungan kebudayaan
.
Tahun 1972 HB Jassin mulai mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan bekerja di Lembaga Bahasa dan Budaya. Ia banyak mengambil referensi dari dokumentasi sastra yang ia kumpulkan. Lalu muncul pemikiran untuk membentuk pusat dokumentasi sastra yang permanen dan representatif
.
Pada 30 Mei 1997 niatan itu terwujud, yakni ketika diresmikannya YDS HB Jassin berkat dukungan Pemda DKI.
Sebelum itu, koleksi dan dokumentasi sastra HB Jassin masih tersimpan di beberapa tempat seperti di kediaman Jassin (Gang Siwalan 3), rumah saudara
Koleksi HB Jassin ada berbagai bentuk. Mulai dari kliping, puisi, majalah, buku, foto pengarang, makalah, skripsi, disertasi, rekaman suara, kaset video, mikro-film, naskah tulisan tangan, naskah ketik, lukisan, sampai surat-surat pribadi. Jumlahnya mencapai sekitar 50 ribu. Bahkan HB Jassin juga selalu mengumpulkan karcis teater yang pernah ditontonnya dari waktu ke waktu.
HB Jassin Anak Kutu Buku
HB Jassin mulai hobi mendokumentasi karya-karya sastra ketika masih berusia 13 tahun. Dia tak pernah berharap suatu saat akan dianugerahi Bintang Mahaputera karena kegiatan tersebut. Saat itu, pria kelahiran Gorontalo, 31 Juli 1917, itu masih duduk di bangku HBS (SMP), Medan, ikut ayahnya yang pindah tugas ke Pangkalanbrandan, Sumatera Utara.
HB Jassin dibesarkan dari keluarga yang “kutu buku”. Ia anak kedua dari enam bersaudara. Ayahnya seorang bekas juru uang yang gemar membaca buku. Dia mulai mengenal indahnya membaca tak lama setelah tamat HIS (SD).
Sejak duduk dibangku HBS, HB Jassin sudah mulai belajar menulis kritik sastra. Karyanya dimuat di beberapa majalah lokal.
Tamat HBS, HB Jassin bekerja di kantor Asisten Residen Gorontalo
. Meski tanpa gaji, ia mendapat kesempatan belajar dokumentasi secara baik.
Baca juga:
Pada usia 23 tahun, HB Jassin mendapat tawaran Sutan Takdir Alisjahbana untuk bekerja di Balai Pustaka
. Saat itu (1940) Sutan Takdir menjabat redaktur Balai Pustaka yang masih menjadi badan penerbitan Belanda. Selain itu, HB Jassin juga aktif menulis cerpen dan sajak.
Kariernya sebagai kritikus dan dokumentator sastra berawal dari perkenalan
Kemudian, Jassin diangkat menjadi redaktur berbagai majalah sastra dan budaya, seperti Pandji Poestaka, Pantja Radja, Mimbar Indonesia, Zanith, Kisah Sastra, Bahasa dan Budaya, Buku Kita, Medan Ilmu Pengetahuan, dan Horison.
HB Jassin meraih gelar kesarjanaan bidang sastra tahun 1957. Dia sempat mendalami ilmu perbandingan sastra di Universitas Yale, Amerika Serikat
. Delapan belas tahun kemudian, HB Jassin dianugerahi doktor honoris causa dari Universitas Indonesia.
Beberapa karya Jassin antara lain Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Essey (1967), Analisa Cerpen (1965), dan Tifa Penyair dan Daerahnya (1967).
HB Jassin meninggal pada tanggal 11 Maret 2000 diusia 83 tahun. Stroke yang telah dideritanya selama bertahun-tahun membuatnya harus dirawat beberapa minggu di Paviliun Stroke Supardjo Rustam, RSCM, Jakarta, sebelum akhirnya meninggal dunia.
« Prev Post
Next Post »