Ulama Dalam Perspektif al-Quran

12/24/2014

Kata-kata ulama di kalangan umat Islam Indonesia mengalami distorsi makna yang terkadang jauh dari apa yang dikehendaki al-Quran. Ada orang yang baru bisa berceramah dan belum mendalam ilmu keislamannya sudah disebut ulama. Bahkan di kampong terpencil, ada tokoh masyarakat yang biasa memimpin doa dalam berbagai acara keagamaan sudah disebut ulama dan diangkat sebagai anggota majelis ulama kecamatan padahal bacaan al-Quran-nya masih blepotan. Di sana masih banyak contoh lain yang menunjukkan distorsi makna ulama. Bahasan ini mencoba mengembalikan makna yang hakiki dari kata-kata ulama yang dikehendaki al-Quran.

Ulama Dalam Perspektif al-Quran

Kata-kata ulama disebutkan dalam al-Quran sebanyak dua kali yaitu dalam asy Syu’ara 197 dan dalam surat Fathir 28, yang intisarinya bahwa ulama adalah orang yang memiliki ilmu yang mumpuni sehingga ilmu tersebut membawa dirinya memiliki sifar khasyyah atau rasa takut hanya kepada Allah saja.

Kalau kita meneliti isi ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan esensi orang yang memiliki kriteria khasyyah ini, kita dapat menarik suatu konklusi bahwa di sana ada kata-kata yang sering digunakan untuk menunjukkan kelompok orang yang memiliki sifat khasyyah yaitu, kata-kata ulul albab (cendikiawan Muslim). Kata-kata ini disebutkan dalam al-Quran sebanyak 16 kali. Merekalah yang disanjung tinggi oleh al-Quran sebagai orang yang memiliki sifat khasyyah, martabat mulia, banyak dzikir, takwa, mencapai derajat iman dan kenyakinan yang tinggi, komitmen dengan syariat Islam dan ajaran-ajarannya. Sebagaimana disiratkan dalam Ali Imran 7 “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran dari padanya melainkan ulil albab (orang-orang berakal).

Jika diteliti secara seksama ayat-ayat yang berkaitan dengan ulil albab, kita dapat memilah bahwa kriterianya ada dua: kriteria global dan kriteria terperinci.

Kriteria global ulil albab terdapat dalam beberapa ayat yaitu: al-Maidah 100, at-Thalaq 10, al-Baqarah 179 dan 197. Semua ayat tersebut menuntut bahwa kriteria utama ulil albab atau ulama adalah sifat khasyyah yang diungkapkan dengan istilah takwa kepada Allah. Artinya, komitmen dalam melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi larangannya. Orang tidak memiliki kriteria demikian tidak layak disebut ulama.

Sedangkan kriteria terperinci yang harus dimiliki ulama atau ulil albab banyak bertebaran dalam beberapa ayat sebagai berikut:

  • Orang yang selalu bedzikir kepada Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring.
  • Selalu bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi.
  • Menjauhi penyembahan kepada thagut yaitu setan atau sesembahan selain Allah (az Zumar 17)
  • Mengembalikan semua urusan kepada Allah dan hanya Allah sajalah yang disembahnya (az Zumar 17). Orang yang masih suka menyandarkan diri pada dukun, ahli nujum atau hal syirik lainnya tidak berhak disebut sebagai ulama.
  • Selalu mengikuti hal-hal yang terbaik dari semua oendapat yang didengarnya kemudian direalisasikan dan bentuk perbuatan dan sikap atau ucapannya (az Zumar 18). Ulama tidak congkak dengan pendapatnya. Memiliki sifat toleran terhadap pendapat orang lain. Lebih dari itu, bila ada pendapat yang lebih baik dia akan mengikuti pendapat tersebut.
  • Senantiasa memenuhi janji Allah untuk mengakui rububiyyatullah dan memenuhi apa yang diajarkan Allah dalam kitab suci-Nya (ar Ra’d 20). Janji yang telah dikukuhkannya di dalam arwah untuk mengakui rububiyyatullah ditepatinya di dunia sehingga tidak pernah ingkar.
  • Tidak merusak perjanjian umum yang talh dikukuhkan antara mereka dengan Allah atau dengan manusia (ar Ra’d 20). Janji adalah utang yang harus dilunasi.
  • Mereka selalu mengeratkan apa-apa yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan seperti silaturrahmi, loyal terhadap sesama Muslim, iman terhadap semua nabi dan menjaga semua hak manusia (ar Ra’d 21). Seorang ulama pasti lebih suka berdekatan dengan orang Islam yang taat daripada orang-orang yang memusuhi umat Islam.
  • Memiliki sifat Khasyyah Ammah kepada Allah dan keagungan-Nya (ar Ra’d 21). Ulama hakiki akan memiliki rasa takut yang luar biasa kepada Allah. Dia akan lebih mudah menangis daripada tertawa terbahak-bahak.
  • Takut kepada keburukan hari hisab (ar Ra’d 21). Rasa takut ini merefleksi dalam ucapan dan semua perbuatannya untuk selalu menjauhi semua larangan Allah. Mereka selalu menghisab dirinya sebelum mereka dihisab nanti pada hari kiamat. Muhasabatunnafsi bagi ulama adalah keharusan yang dilakukannya setiap hari.
  • Memiliki kesabaran dalam menghadapi semua beban, kesulitan dan musibah di dunia serta senantiasa menentang kehendak hawa nafsu (ar Ra’d 22). Semua perintah Allah adalah kewajiban dan beban yang harus dilaksanakan penuh kesabaran. Demikian juga musibah harus dihadapinya dengan kesabaran.
  • Mendirikan shalat dan memeliharanya agar jangan sampai terlewat waktunya atau kurang syarat rukunnya (ar Ra’d 22). Kalau ada orang yang suka meninggalkan shalat atau mengabaikan kewajiban agama, dengan alasan apapun, sudah pasti ia bukan ulama walaupun ia dari keturunan kiai besar.
  • Menginfakkan sabagian hartanya baik dalam keadaan rahasia atau terang-terangan untuk kepentingan jihad fisabilillah atau bentuk sedekah lainnya (ar Ra’d 22)
  • Menolak kejahatan dengan kabaikan (ar Ra’d 22), sebagaimana yang dikatakan Rasulullah, “Hendaknya kamu menghapus kejahatan dengan cara melakukan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menghapus kejahatan dan pergaulilah manusia dengan pergaulan yang baik (lihat: al Mu’minun ayat 60).

Itulah beberapa sifat dan kriteria yang mesti dimiliki para ulama atau ulil albab. Kita harus waspada kepada orang-orang yang berbaju seperti ulama atau menggunakan atribut-atribut keulamaan, padahal ia hanyalah orang yang ingin memenuhi ambisi pribadinya dan jauh dari perjuangan li’ilaai kalimatillah.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top