Wanita Karir Antara Keluarga Dan Masyarakat

Imam Hanafi dan Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam sebuah hadits membolehkan wanita menjabat sebagai hakim. Abdul Zaidam dalam al-mufashal fi ahkamin nisa’;menyebutkan, wanita diperbolehkan memegang sebuah jabatan kecuali menjadi pemimpin negara. Asal, jabatan tersebut tidak mengganggu pekerjaan utama wanita: mendidik anak dan mengurus keperluan rumah tangga serta suami.

Wanita Karir Dalam Islam

Perempuan adalah ibu dari sagala generasi. Peran ibu dari generasi itu sangat luas. Naïf sekali jika kita membatasi peran wanita hanya pada tiga 3M: macak (berdandan), masak, dan manak (melahirkan) saja.

Di zaman rasul dan para sahabat pernah muncul beberapa tokoh wanita. Sebut saja, misalnya, istri Rasululullah Aisyah ra, anaknya Fathimah, Atika binti Yazid ibn Mu’awiyah, Ummu Salamah binti Ya’qub, dan Al-Khayzaran binti ‘Athok.

Aisyah pernah mengemukakan suaty riwayat, “Alat pemintal di tangan wanita lebih baik dari pada tombak di tangan kaum laki-laki.” Dalam riwayat lain Nabi pernah mengatakan “Sebaik-baik permainan seorang wanita muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun.”

Para wanita di zaman itu juga aktif di bidang ekonomu. Khadijah binti Khuwaylid (istri Nabi) dikenal sebagai komisaris perusahaan. Zaynab binti Jahsy terkenal sebagai penyamak kulit binatang. Ummu Salim binti Malhan berprofesi sebagai tukang rias pengantin. Istri Abdullah ibn Mas’ud dan Qilat Ummi Bani Anmar dikenal sebagai wiraswatawan yang sukses. Al-Syifa’ berprofesi sebagai sekretaris dan pernah ditugasi oleh Khalifah ‘Umar menangani pasar kota Madinah.

Bahkan, ada pula wanita yang ikut ke medan perang hingga akhirnya gugur sebagai syuhada. Di antaranya, Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyyah, Laylah al-Ghaffariyah, dan Ummu Sinam al-Aslamiyah.

Dalam bidang pendidikan, wanita juga memiliki hak untuk ikut berpartisipasi. Al-Quran menyinggung sejumlah tokoh wanita yang berprestasi tinggi dalam pendidikan, seperti Ratu Balqis, Maryam, istri Fir’aun dan sejumlah istri Nabi.

Di zaman sekarang, peran wanita di luar rumah masih memiliki dua penafsiran berbeda. Sejumlah wanita menganggap mereka tidak perlu aktif di areal publik, tidak perlu berkecimpung pada urusan politik. Sebab, wanita punya tugas mulia mengurus hal-hal yang berhubungan dengan domestik rumah tangga. Dunia publik, menurut mereka adalah wilayah laki-laki.

Kelompok ini merujuk pada teks-teks al-Quran yang menurut mereka tak memberi kesempatan kepada kaum wanita untuk berkiprah di bidang politik praktis. Misalnya, surah al-Nisa’ 34 dan al-Baqarah 228 yang ditafsirkan Ibnu Katsir bahwa laki-laki memiliki kelebihan menangani urusan publik, terutama politik. Surat lainnya adalah al-Ahzab ayat 34, di mana sebagain ahli tafsir memahaminya sebagai keharusan bagi kaum wanita untuk diam di dalam rumah.

Sejumlah wanita yang lain menganggap peran politik wanita sangat penting, termasuk dalam urusan-urusan praktis. Misalnya, menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kelompok ini menganggap kaum wanita diizinkan memangku jabatan politik seberat yang dipangku laki-laki.

Secara normatif kelompok ini juga mendasarkan diri pada sumber -sumber Islam seperti al-Quran dan sunnah Nabi. Misalnya, surat al-Taubah ayat 71. Mereka menganggapnya sebagai ayat yang menyetarakan hak dan kesempatan berpolitik. Kelompok tersebut didukung ulama klasik seperti al-Thabari, Ibnu al-Tsaur dan al-Muzani.

Namun, perbedaan adalah anugrah. Tak perlu diributkan. Apapun, wanita adalah tulang punggung negara. Baik buruknya suatu bangsa tergantung pada perilaku wanita dalam membangun keluarga atau negara.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top