Tradisi Santri Memperjuangkan Membangun Dan Memimpin Bangsa

Sejarah perjuangan bangsa Indonesia menuju sebuah kemerdekaan adalah jalan panjang kepedihan, penderitaan, pengorbanan dan kepatriotan yang tak akan terlupakan sepanjang masa dan sepanjang adanya sebuah negeri yang bernama Indonesia. Kesatuan dan persatuan adalah kata-kata yang mendampingi setiap pekikan “merdeka atau mati” dari setiap insan dan anak negeri saat itu. Kemerdekaan, kebebasan, dan pelepasan belenggu kolonialis adalah sebuah keharusan setiap langkah perjuangan dan gerakan, bahkan ia adalah sebuah jihad fii sabilillahi bagi sebagian besar anak negeri, terutama mereka yang selalu disebut ‘inlander’ (pribumi) dan itu sudah dapat dipastikan bahwa mereka adalah Muslim dan kaum santri, yang mana Hindia Belanda pada saat itu selalu menjadikan mereka golongan kelas tiga dari strata yang dibuat untuk memisahkan hak dan kewajiban para maneer atau (Land Lord) tuan-tuan tanah yang sebagian besar adalah kaum penjajah Belanda, pedagang Tiongkok, serta buruh dan budak dari pribumi yang dibodohkan secara kultural dan sistematis.

Tradisi Santri Memperjuangkan Membangun Dan Memimpin Bangsa

Kuntowijoyo dalam bukunya Dinamika Sejarah Islam Indonesia, Yogyakarta, 1985, telah menulis “Periode pertama yang dihadapi umat Islam adalah periode di mana umat Islam berada dalam suatu sistem status dengan hirarki sosial yang sangat keras. Pada waktu itu masyarakat dibagi dua: orang-orang besar (priyayi agung) dan orang-orang kecil (wong cilik) yang kemudian dalam konteks politiknya disebut sebagai kawula atau abdi. Terutama jika kita berbicara tentang umat Islam sesudah kejatuhan kerajaan Islam Demak, umat Islam tidak berada pada golongan atas, melainkan ada di golongan bawah. Sampai akhir abad XIX, umat Islam hanya sebagai kawula.

Itulah kaum santri yang terus membawa cerita atas negeri ini, sehingga muncullah berbagai perlawanan terhadap kolonial yang menjajah hak kebebasan untuk membangun diri dari negeri beribu kepulauan, beragam etnik dan bahasa ini. Maka dengan kata lain, sejarah patriotik bangsa ini telah mencatat bahwa ruh perjuangan yang diimplementasikan dalam perlawanan bersenjata maupun diplomasi dari pejuang dan pahlawan, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mereka hampir semua mempunyai background kaum santri dan kesantrian. Sebut saja, misalnya nama-nama: Pangeran Diponegoro, Sentor Ali Basyah, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Sultan Hasanuddin, Sultan Ternate, Sultan Tidore, dll. Bahkan para pemimpin kemerdekaan dan founding fathers bangsa inipun adalah para santri. Siapa yang bisa menyangkal kesantrian Bung Karno (seorang murid dari Ronggowarsito di Tegalsari), M Hatta (dari keluarga pendiri perguruan Islam di Padang Panjang), Jenderal Sudirman, H Agus Salim, Ali Sastro Amidjoyo, Sultan Syahrir, KH Hasyim Ashari, Buya Hamka, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Natsir, Kasman Singodimejo, hingga setelah bangsa ini meredeka, masih banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan di sini.

Dari latar belakang sejarah tersebut, ada hal teramat penting yang seringkali terlupakan, yaitu tradisi santri dan kesantrian merupakan bagian sejarah panjang dari berdirinya bangsa ini hingga akhir zaman, bahkan tradisi tersebut merupakan inheren serta menjiwai bangsa ini dan para pemimpinnya.

Mengapa Kaum Santri?

Kata-kata santri yang berasal dari bahasa Sansekerta: cantrik atau castri yang berarti pelajar disekolah atau lembaga pendidikan agama dan di bawah pengawasan dan kepemimpinan seorang guru dengan kedalaman ilmu agama yang dimilikinya dan tempat mereka tinggal serta menuntut ilmu. Di Jawa tempat itu disebut pondok pesantren, di Sumatra Utara dan Barat disebut meunasah, rangkang atau romoh (HAR Gibb, Wither Islam?, a Survey of Modern Movements in the Muslim World, 1932).

Dengan strata terendah yang dikondisikan dan dibuat oleh kaum kolonialis bagi kawula atau umat Islam atau kaum santri tersebut, tidak hanya berdampak pada tatanan sosial ekonomi, namun dampak itupun juga pada pembedaan tatanan nilai dan pola pikir serta pendidikan yang terbentuk. Di sinilah independensi umat terpolakan pada bentuk yang sangat orisinil dan mendasar yaitu terfokus pada tatanan dan wacana religius Islamis. Pendidikan yang menjadi kebanggaan kaum kolonialis tentu saja pada tatanan nilai dan kepentingan para penjajah Barat dan kaum misionaris saat itu. Perkembangan selanjutnya tak dapat disangkal bahwa peran apapun yang ditonjolkan oleh penjajah setidaknya memiliki misi ‘pelunturan’ persaliban sehingga East Indies atau Indonesia setidaknya dapat di-Turki-kan secara faktual dari tatanan nilai dan ideologi keberagamaannya.

Tak heran bila pemerintah Hindia Belanda harus mengangkat seorang C Snouck Hurgronje sebagai penasihat penting bagi pemerintah Hindia Belanda di Betawi, pada tahun 1889-1936. Demi memberikan masukan tentang kehidupan, kayakinan, tokoh-tokoh ulama dan semua tentang agama Islam kaum santri di East Indie, setelah Belanda mengalami berbagai macam kesulitan menghadapi dan menundukkan Kaum Santri di Bumi Nusantara ini.

Maka tak pelak lagi, perjuangan dan pengorbanan dari anak negeri, kawula yang disebut Kaum Santri pun tidak hanya untuk memerdekakan Indonesia, namun lebih besar daripada itu, mempertahankan akidah, tatanan nilai, ideologi bahkan masa depan rangkaian beribu kepulauan Nusantara dari belenggu kolonialisme dan imperalis, serta menjadikannya The Green Belt of South East Asia (sabuk hijau di Asia Tenggara).

Relevansi Kesantrian Demi Masa Depan Bangsa

Kenyataan pahit saat ini yang sedang terjadi pada negeri tercinta, seakan-akan telah menutup ‘jiwa mulia’ dari tradisi, norma, ghirah, dan pengorbanan nilai-nilai kesantrian dari kepemimpinan bangsa ini. Tercabiknya harga diri bangsa baik karena krisis berkepanjangan menyebabkan ketergantungan pada pihak asing, ditambah merebaknya anarkisme dan konflik internal di tubuh bangsa ini, seakan-akan mencerminkan kebobrokan dari sebuah peradaban yang selama ini membanggakan mental dan moral kesantrian. Alangkah sedihnya, kita sebagai suatu bangsa yang nyata-nyata dan dilahirkan serta dibangkitkan dari suatu peradaban, tradisi dan budaya yang mulia tersebut, justru oleh para pemimpin yang santri, pada akhirnya harus terpuruk dengan stereotype bangsa yang telah kehilangan kewibawaan dan harga dirinya. Justru setelah Belanda hengkang dari Bumi Tuhan yang bernama Indonesia ini, kaum santri muda di-western-kan dan mudah kehilangan jati diri yang mengakibatkan lunturnya berbagai nilai, norma, bahkan terjualnya akidah dengan harga yang amat sangat murah.

Bila saja para tokoh pendiri dan pemimpin bangsa tersebut di atas masih hidup, maka merekapun akan meratapi anak cucunya yang justru menjual negeri ini dengan mudah dan murahnya. Reformasi yang kita lalui seharusnya menjadi starting point sebuah kebangkitan norma dan kewibawaan Bangsa dihadapan dunia yang semakin mengglobal. Mengapa kaum santri yang harus disalahkan? Padahal sudah tidak ada lagi pembagian strata yang pernah dibuat oleh Belanda dulu atau pembagian strata yang pernah disebutkan oleh Clifford Geerts dalam bukunya The Religion of Java: Santri, Abangan dan Priyayi. Banyak hal yang perlu dikaji, dibahas dan diselesaikan oleh Kaum Santri sendiri dari berkurangnya nilai-nilai dan jiwa Keikhlasan, jiwa Kesederhanaan, jiwa Ukhuwah Islamiyah, jiwa Berdikari serta Mandiri, dan jiwa Kebebasan yang berupa hilangnya independensi dan jati diri yang menjurus pada berkurangnya bahkan hilangnya akidah.

Santri Harus Siap Memimpin Bangsa

Apapun alasannya, Umat Islam terutama Kaum Santri saat ini, memiliki tanggung jawab besar untuk membangun bangsa, membangun “The Green Belt of South East Asia”. Pembangunan itu diawali dengan niat yang tulus, pembentukan kembali kader-kader pemimpin dan membangun sebuah jaringan yang broad minded namun selalu berpijak di atas bumi Allah Indonesia Raya.

Maka Indonesia ke depan adalah Indonesia yang memiliki sistem politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan yang proposional bagi seluruh lapisan masyarakat. Sehingga semua dapat terkondisikan dengan setiap tradisi yang ada selain tradisi santri yang memang sudah mengakar dan menjadi satu kesatuan jiwa dari bangsa ini. Tantangan di depan memang tidak mudah dan tidak dianggap sepi dan remeh. Namun ruh jihat dapat diaplikasikan tidak hanya dengan sebuah peperangan sabil yang menumpahkan darah tapi lebih dari pada itu, kekuatan ruh jihad tersebut hendaknya mewarnai atmosfir bumi dengan sebuah peradaban yang madani yang terpancar dari insan-insan yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, berpikir bebas (niet minder wardeg).

Samuel P Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and The Remaking of World Order, 1996, memprediksi bahwa setelah berakhirnya perang dingin, konflik yang akan muncul pascaperang dingin adalah konflik peradaban terutama benturan peradaban Barat dengan peradaban Islam dan Konfusianisme. Buku tersebut seakan-akan mengatakan bahwa kita dan peradaban yang telah dibangun semenjak Indonesia belum merdeka harus siap diri kapan saja dan di mana saja di atas bumi Nusantara ini untuk siap berjihad mempertahankan bangsa hingga titik darah penghabisan.

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top