Tradisi Belajar Transformasi Pengetahuan Dalam Kehidupan

11/01/2014

Jika yang berpengaruh besar bagi pola kehidupan kita berasal dari apa-apa yang dirasakan, didengar, dilihat dan dilakukan, maka tak ubahnya kita menjalani proses belajar sebagaimana yang pernah dirumuskan oleh banyak ahli pendidikan yaitu, keterkaitan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman berulang-ulang. Pendapat di atas sama dengan pendapat Muhammad Quthub, seorang ahli pendidikan Islam dari Mesir yang mengatakan, pendidikan adalah seni membentuk ruh insaaniyyah dan ma’nawiyyah. Sedangkan belajar adalah instrumennya.

Tradisi Belajar - Transformasi Pengetahuan Dalam Kehidupan

Seberapa pentingkah belajar? Mengapa kita mesti belajar? Jawabannya, “Ta’alam! Falaisal mar-u yuladu ‘aliman.” Belajarlah! Karena tidak ada orang yang dilahirkan dalam keadaan ‘alim. Sedangkan objek dari belajar adalah ilmu. Dalam Islam, ilmu merupakan instrument yang diberikan Allah untuk menata pola kehidupan manusia. Semestinya orang yang telah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan-perubahan dengan ilmunya secara terus-menerus pada aspek cara berfikir, emosi, dan pola sikap yang lahir dari akumulasi pengalaman dan pelatihan yang diaplikasikan dalam kehidupan.

Dari keterangan di atas, kita akan mengetahui kadar manusia. Pertama, mereka yang telah belajar secara baik dan sungguh-sungguh, manfaat dan kepiawaiannya terlihat. Kedua, hanya mendapatkan prestasi tinggi secara ‘hitam di atas putih’ tapi tidak begitu piawai bahkan tidak bisa apa-apa, jauh dari gambaran yang tertera dari symbol-simbol di atas kertas. Ketiga, tidak ada symbol dan terlihat kepiawaiannya sebagai manusia terpelajar. Untuk kasus pertama mungkin kita tidak usah bahas karena memang idealnya sudah begitu. Begitu pula kasus ketiga, hal itu terjadi karena memang sudah sunnatullah, tidak pernah belajar maka tidak pernah dapat apa-apa.

Sekarang kita akan memfokuskan pada kasus kedua - banyak terdapat di sekeliling kita. Seolah-olah ilmu yang dipelajari tidak mempunyai efek dan merambah pola kerja dan kehidupan kita secara general. Dengan kata lain ilmu tidak tertransformasikan dari bentuk pengetahuan ke pola kehidupan yang berlangsung. Maka tidak jarang kita temukan sarjana ekonomi, manajemen, ketika dihadapkan pada sektor riil malah bangkrut perniagaannya dan kacau kepemimpinannya. Kalah dengan orang-orang biasa yang hanya terbiasa berdagang di pasar lagi tidak pernah sekolah.

Contoh lainnya ada anak yang sudah belajar ilmu hitung dengan variable A atau B. ketika ditanya dengan variable X atau Z ia malah bingung. Atau seperti anak baru belajar bahasa Arab yang terbiasa memakai nama Zaidun dalam teksnya. Katika nama Zaidun diganti dengan nama lain, Umar, misalnya, seperti dalam kalimat “Yadzhabu ‘Umar ila al-suuqi” atau dalam menjawab: “Man yadzhabu ila al-suuqi?”, ia tidak bisa menjawab - dikira Zaidun satu-satunya variable dan tidak bisa diganti dengan yang lain. Bahkan ia balik bertanya, “Mengapa Umar bukan Zaidun? Kan saya hanya diajarkan kata Zaidun.”

Memperhatikan hal-hal di atas, ternyata ilmu-ilmu yang dipelajari oleh sebagian peserta didik, bahkan kita, belum berfungsi dan berkembang sebagaimana mestinya. Boleh jadi kesalahan ada pada cara proses belajar-mengajar atau kita terlalu terpukau pada sistem penilaian formal akademis saja. Padahal tingkat pengukuran formal tidak bisa secara menyeluruh menggambarkan tingkat kemajuan belajar seseorang. Apalagi di zaman semacam ini, objektifitas cenderung rendah.

Yang kita perlukan sekarang, bagaimana mentransformasikan pembelajaran untuk kehidupan riil? Tidak lain dan tidak bukan, jawaban yang sangat sederhana adalah kita harus memiliki sistem pendidikan yang dapat membantu anak ataupun peserta didik untuk menggeneralisasikan dan menerapkan kaidah-kaidah umum yang ia pelajari dalam berbagai lapangan diluar sekolah. Termasuk pendidikan yang berorientasi kepada mental skill bukan hanya job skill. Dengan demikian sekolah, perguruan tinggi, pesantren dan orang tua selain memberikan hal-hal akademis sekaligus juga menanamkan dan mempertemukan kecerdasan dengan keyakinan, kemauan keras, keakuratan data dengan niat yang lurus memegang amanah, serta percaya diri, wawasan yang luas dengan ketajaman intuisi dan kebijaksaan.

Kepada anak/siswa harus dipahamkan bahwa setiap kegiatan bukan satu-satunya pilihan melainkan merupakan khazanah yang akan bermanfaat bagi pengembangan diri.

Selanjutnya kita harus menjaga proses belajar mereka agar berjalan secara benar, dengan persepsi kegiatan belajar merupakan proses internalisasi individu yang berlangsung intens dan berefek pada perubahan diri. Hal ini penting sekali untuk menanamkan tradisi belajar dan keilmuan pada anak. Misalnya, berhitung bukan hanya pelajaran yang harus diselesaikan dibangku sekolah tapi alat untuk menganalis keadaan, baik itu pertumbuhan penduduk, perdagangan, pendapatan dll. Membaca dengan pemahaman, jangan hanya dikaitkan pada ujian saja tapi harus dijadikan kebiasaan untuk mencari informasi dan pengembangan ilmu pengetahuan lainnya. Pendidikan seni dan olahraga bukan hanya terpaku pada keindahan dan kesehatan belaka, tapi lebih dari itu bisa dikembangkan dan dihubungkan sebagai alat dakwah, menumbuhkan sportifitas dan menggalang ukhuwah Islamiyah.

Dengan tradisi belajar semacam ini diharapkan terjadi transformasi keilmuan dari ruang pengetahuan ke dalam pola kehidupan. Dan ini terjadi bukan tanpa sengaja tapi dengan mengondisikan dan memadukan aspek intelektual (IQ), emosional (EQ) dan spiritual (SQ).

Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top