Organisasi Bisnis Islam

Pengertian Bisnis Dan Organisasi Bisnis

Bisnis dengan segala macam bentuknya terjadi dalam kehidupan kita setiap hari, sejak bangun pagi hingga tidur kembali. Dalam kamus bahasa Indonesia, bisnis diartikan sebagai usaha dagang usaha komersial di dunia perdagangan, dan bidang usaha. Skinner (1992) mendefinisikan bisnis sebagai pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat. Menurut Anoraga dan Soegiastuti (1996), bisnis memiliki makna dasar sebagai “the buying and selling of goods and services”. Adapun dalam pandangan Atraub dan Attner (1994), bisnis tak lain suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit (keuntungan). Barang yang dimaksud adalah suatu produk yang secara fisik memiliki wujud (dapat dilihat dengan indra), sedangkan jasa adalah aktivitas-aktivitas yang memberi manfaat kepada konsumen atau pelaku bisnis. (Muhammad, K. W dan Yusanto, 2002:15)

Pengertian Bisnis dan Organisasi Bisnis Islam

Bisnis adalah suatu aktivitas yang mengarahkan pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (produksi). Skinner mengatakan (1992) bisnis adalah pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat. Sementara Anoraga dan Soegiastuti (1996) mendefinisikan bisnis sebagai aktivitas jual beli barang dan jasa. Straub dan Attner (1994) mendefinisikan bisnis adalah suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit. (Muhammad, 37)

Dari semua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu organisasi/pelaku bisnis akan melakukan aktivitas bisnis dalam bentuk: (1) memproduksi dan atau mendistribusikan barang dan/atau jasa, (2) mencari profit, dan (3) mencoba memuaskan konsumen. Memproduksi barang dan jasa yang tidak merusak bagi diri sendiri dan orang banyak, mencari profit dengan cara yang benar dan tidak menyalahi aturan yang telah ditentukan (halal dan haram), memuaskan konsumen dengan pelayanan yang sebaik-baiknya.

Sedangkan untuk pengertian organisasi bisnis itu yaitu suatu organisasi yang melakukan aktivitas ekonomi dan bertujuan untuk menghasilkan keuntungan (profit). Salah satu contoh organisasi bisnis adalah radio. Radio disebut organisasi bisnis karena tujuan ekonominya adalah menghasilkan keuntungan melalui kegiatan penyampaian informasi dan hiburan kepada masyarakat.

Agar bisnis dapat berjalan dengan sukses maka perlu diorganisasikan. Dalam mengorganisasi suatu bisnis tentunya harus memperhatikan unsur-unsur bisnis yang ada. Unsur bisnis yang perlu mendapat perhatian pengusaha yaitu lingkungan bisnis. Lingkungan sangat besar pengaruhnya kepada efisiensi dari operasional perusahaan dan kemampuannya untuk memperoleh keuntungan, Untuk itu setiap pemilik dan pemimpin usaha harus dapat memahami keadaan lingkungannya dan dampak lingkungan tersebut terhadap usahanya.

Organisasi Bisnis Islam

Dalam istilah syariah, organisa bisnis sering disebut sebagai syirkah. Apa dan bagaimana sebenanya syirkah ini bekerja?

Dalam fikih, syirkah termasuk salah satu bentuk kerjasama dagang dengan syarat dan rukun tertentu. Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yasyraku (fi’il mudhari‘), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat. Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.

Hukum dan Rukun Syirkah

Syirkah hukumnya jaiz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Muhammad SAW, berupa taqrir (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Rukun syirkah itu sendir masih diperselisihkan oleh para ulama. Menurut ulama Hanafiyah bahwa rukun syirkah ada dua yaitu ijab dan qabul sebab ijab dan qabul yang menentukan adanya syirkah. Selain itu ada pula dua orang dari pihak yang berakad dan harta berada di luar pembahasan akad. Meskipun terdapat banyak perbedaan tentang rukun syirkah, akan tetapi rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:

  1. Akad (ijab qabul), disebut juga shighat
  2. Dua pihak yang berakad (‘aqidani), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukkan tasharruf (pengelolaan harta)
  3. Obyek akad yang dapat disebut ma’qud alaihi yang mencakup pekerjaan (amal) dan/ modal.

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:

  1. Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli.
  2. Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarik (mitra usaha).

Macam – Macam Syirkah

Syirkah Amlak mengandung pengertian sebagai kepemilikan bersama (co-ownership) dan keberadaannya muncul apabila dua atau lebih orang secara kebetulan memperoleh kepemiliki bersama (joint ownership) atas suatu kekayaan (asset) tanpa telah membuat perjanjian kemitraan yang resmi. Misalnya , dua menerima warisan atau menerima pemberian sebidang tanah atau harta kekayaan, baik yang dapat atau tidak dapat dibagi-bagi. Para mitra tersebut harus berbagi atas pemberian atau warisan, atau atas pendapatan dari barang tersebut sesuai dengan besarnya bagian masing – masing terhadap barang tersebut sampai mereka memutuskan untuk membagi barang itu (apabila barang tersebut dapat di bagi, misalnya sebidang tanah) atau menjualnya ( apabila barang tersebut tidak dapat di bagi bagi, misalnya sebuah kapal, apabila kekayaan itu dapat dibagi dan para mitra memutuskan untuk tetap memiliknya bersama, maka syirkah Al-milk tersebut bersifat ikhtiyariyyah,( sukarela). Namun, apabila barang tersebut tidak dapat dibagi dan mereka terpaksa harus memilikinya bersama, maka syirkah Al-milk tersebut jabriyyah ( tidak sukarela atau terpaksa). Syirkah Al-milk, yang esensinya adalah suatu kepemilikan bersama  atas kekayaan ( common ownership of proferty) tidak dapat dianggap sebagai suatu kemitraan (partnership) dalam pengertian yang sesungguhnya, karena timbulnya bukan berdasarkan kesepakatan untuk berbagi untung dan resiko.

Syirkah Uqud ( contractual partnership,) dapat dianggap sebagai kemitraan yang sesungguh, karena para pihak yang bersangkutan secara sukarela berkeinginan untuk membuat suatu perjanjian investasi bersama untuk berbagi untung dan resiko. Perjanjian yang dimaksud tidak perlu merupakan sesuatu perjanjian yang diformal dan tertulis. Dapat saja perjanjian informal dan secara lisan. Namun demikian, sebagaimana halnya pada perjanjian mudharabah, adalah lebih baik apabila perjanjian syirkah Al- ukud diformalisasikan dalam suatu perjanjian tertulis dengan disaksikan oleh saksi-saksi. Dalam syirkah uqud keuntungan dibagi secara proporsional diantara para pihak seperti halnya mudharabah. Kerugian juga ditanggung secara proposional sesuai dengan modal masing masing yang telah diinvestasikan oleh para pihak.

Dalam bisnis syari’ah terdapat lima jenis syirkah yang berkembang dalam praktek bisnis Islam yang kesemuanya merupakan bagian dari syirkah uqud, yaitu:

Syirkah Inan
Syirkah Inan. Ini adalah bentuk kerjasama bisnis yang dilakukan dua orang atau lebih, dimana masing-masing menyertakan harta (modal) dan sekaligus juga menjadi pengelolanya (tenaga), kemudian keuntungannya dibagi diantara mereka berdasarkan kesepakatan. Jika mengalami kerugian, maka kerugiannya akan ditanggung bersama berdasarkan proporsional modalnya.

Dalam syirkah inan, harta yang dijadikan modal haruslah riil, bukan hutang dan nilainya harus jelas. Jika berbentuk barang, maka harus dikonversi sesuai harga yang disepakati sehinggan memiliki nilai yang jelas yang bisa disatukan dengan harta dari pemodal lainnya. Wajib bagi pihak yang ber-syirkah untuk secara bersama-sama terlibat dalam pengelolaan. Mereka sama-sama berjual beli, menawarkan, menagih pembayaran, mengelola karyawan, dan sebagainya.

Secara teknis menajemen, para pengelola bisa bersepakat untuk membagi job sesuai kebutuhan perusahaan dan tentu saja disesuaikan keahlian atau minatnya. Siapa yang menjadi CEO, direktur keuangan, pemasaran, produksi, dan lainnya, bisa disepakati bersama, dan masing-masing jabatan tersebut mendapatkan tunjangan yang sesuai.

Syirkah Mudharabah atau Syirkah Qiradh. Secara muamalah, syirkah mudharabah mengharuskan ada dua pihak, yaitu pihak pemilik modal (rabbul maal) dan pihak pengelola (mudhorib). Pihak pemodal menyerahkan (mengamanahkan) modalnya dengan akad wakalah kepada seseorang sebagai pengelola untuk dikelola dan dikembangkan menjadi sebuah usaha yang menghasilkan keuntungan (profit).

Keuntungan dari usaha akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, dan manakala terjadi kerugian bukan karena kesalahan manajemen (kelalaian), maka kerugian ditanggung oleh pihak pemodal. Hal ini karena hukum akad wakalah menetapkan hukum orang yang menjadi wakil tidak bisa menanggung kerugian, sebagaimana diriwayatkan oleh Ali r.a. yang berkata : “Pungutan itu tergantung pada kekayaan. Sedangkan laba tergantung pada apa yang mereka sepakati bersama” [Abdurrazak, dalam kitab Al Jami’].

Secara manajemen, pihak pengelola wajib melakukan pengelolaan secara baik, amanah dan profesional, sedangkan pihak pemodal tidak diperbolehkan (tidak berhak)ikut mengelola/ bekerja bersama pengelolanya. Pengelola berhak untuk memilih dan membentuk tim kerjanya (teamwork) tanpa harus seijin pemodal, demikian pula dalam pengambilan kebijakan dan langkah-langkah opersioanal perusahaan.

Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis)  ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.

Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).

Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).

Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil As-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas‘ud ra. pernah berkata (yang artinya), “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR Abu Dawud dan al-Atsram).

Hal itu diketahui Rasulullah saw. dan beliau membenarkannya dengan taqrir beliau. (An-Nabhani, 1990: 151).

Syirkah Mudharabah
Syirkah mudharabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mal). (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh. (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/ rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).

Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).

Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil As-Sunnah (taqrîr Nabi saw.) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf  hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/’âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.

Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syari‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).

Syirkah Wujuh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya. (An-Nabhani, 1990: 154).

Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak. (An-Nabhani, 1990: 154). Misal:  A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).

Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah  ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).

Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).

Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan. (An-Nabhani, 1990: 155-156).

Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. (An-Nabhani, 1990: 156).

Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujuh).

Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.

Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

Mengakhiri Syirkah

  • Syirkah akan berakhir jika terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
  • Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain.
  • Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk mengolah harta, baik karena gila atau alasan lainnya.
  • Salah satu pihak meninggal dunia. Akan tetapi jika anggota syirksh lebih dari dua orang, yang batal hanya yang meninggal saja. Syirkah tetap berjalan pada anggota-anggota yang masih hidup.
  • Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila modal lenyap sebelum terjadi percampuran harta sehingga tidak dapat dipisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila harta lenyap setelah terjadi percampuran harta hingga tidak bisa dipisah-pisahkan lagi, menjadi resiko bersama. Kerusakan yang terjadi setelah dibelanjakan, menjadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa harta, syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.
  • Salah satu pihak bankrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Hanafi berpendapat bahwa keadaan bakrut itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh pihak bersangkutan.

Daftar Pustaka

  • An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV. Beirut : Darul Ummah.
  • Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta : Bank Indonesia & Tazkia Institute.
  • Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut : Darul Fikr.
  • Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut : Mua’ssasah ar-Risalah.
  • —————. 1989. Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm. Cetakan I. T.Tp. :Darus Salam.
  • Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr.
  • Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani. Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa.
  • Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return. Denhag: Kluwer Law International.
Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top